Aydha Vadillah Kurniawati Blog`s
Senin, 15 Desember 2014
Minggu, 14 Desember 2014
Filsafat Sejarah Arnold J. Toynbee
2.1
Filsafat Sejarah Spekulatif
Filsafat sejarah spekulatif (the
speculative philosophy of history), yaitu kajian seputar dua makna kata
sejarah, yaitu pertama sebagai proses historis; dan kedua sebagai penulisan
proses historis menurut kaidah-kaidah ilmu sejarah. Demikian pula, tampak jelas
Toynbee dalam pembuktian historis dan penerimaannya yang sungguh-sungguh atas
pengkajian berbagai kebudayaan selalu berusaha memakai metode eksperimental
yang didasarkan pada pengamatan guna mengetahui faktor-aktor yang menyebabkan
tumbuh dan runtuhnya kebudayaan.
Metode ini merefleksikan aliran
eksperimental yang terkenal dalam filsafat Inggris modern pada umumnya. Di
antara hasil kajian ini adalah sejumlah karya dalam sejarah kebudayaan,
misalnya A study of History karya Tyonbee, yang terdiri atas dua belas jilid.
Tyonbee hampir sependapat dengan
Spenglermengenai konsepsi kesatuan kajian historis dari segi bahwa ia merupakan
suatu masyarakat yang terdiri atas bebagai kelompok yang memiliki karakteristik
kultural khusus, tanpa memandang bentuk nasional tempat mereka berafiliasi atau
sistem internasional yang mereka ikuti, yaitu suatu sistem yang pada hakikatnya
didasarkan pada kondisi-kondisi dominasi Barat atas berbagai tipe sistem
politik yang berkembang pada zaman modern. Ini berarti bahwa kesatuan historis,
menurutnya, sebagaimana menurut Spengler, bukanlah umat manusia seluruhnya atau
kawasan-kawasan politik ataupun kesatuan-kesatuan nasional. Ia merupakan
sejumlah kelompok manusia yang disebut dengan masyarakat kultural atau kesatuan
kajian historis sesuai dengan karakteristik bersamanya.
Tyonbee berpendapat bahwa pola-pola
kebudayaan yang dikajinya-jumlahnya ada delapan- tidak cukup bisa mengantarkan
seseorang pada kesimpulan-kesimpulan ilmiah yang benar. Oleh karena itu, Tyonbee
berupaya mengkaji lima masyarakat yang ada masa kini, yaitu masyarakat Kristen
Barat, masyarakat Kristen Timur (Byzantium), masyarakat India, masyarakat Timur
Jauh, dan masyarakat Islam. Di samping itu, ia juga mengkaji sempalan-sempalan
masyarakat yang sudah mati yang tidak jelas kepribadiannya, misalnya saja kaum
Yahudi.
Menurut Tyonbee, semua masyarakat tumbuh
dari masyarakat sebelumnya, yang menurutnya terdiri atas dua puluh satu
masyarakat. Dengan adanya pembagian demikian, gugurlah kesatuan kebudayaan yang
diserukan para sejarawan Barat sebelum Tyonbee, yang terpengaruh oleh
lingkungan sosial mereka dan keberhasilan kebudayaan Barat secara internasional
di bidang politik dan ekonomi, sehingga membuat banyak sejarawan terbuai oleh
keserupaan yang menyesatkan di antara berbagai kebudayaan yang sebenarnya tidak
sesuai dengan corak kultural asli dari segi substansi umum kebudayaan tersebut.
Keberhasilan lahiriah itu, terutama karena
tersebar luasnya sistem-sistempolitik dan ekonomi Barat dalam banyak masyarakt,
menimbulkan suatu ide yang keliru, yaitu ide kesatuan kebudayaan manusia.
Menurut ide ini, sejarah manusia mempunyai satu sumber yaitu Barat, sedangkan
yang lainnya adalah cabangnya. Menurut Tyonbee, ide yang mendominasi pemikiran
banyak sejarawan Barat itu ditegakkan di atas tiga ilusi,yaitu cinta diriyang
mendominasi orang-orang Barat, ide Timur yang mandek, dan pendapat tentang
kemajuan sebagai gerak yang membentuk suatu garis yang selalu lurus. Dari sini,
Tyonbee menarik kesimpulan tentang perlu dilakukannya penilaian objektif atas
semua kebudayaan tanpa penggunggulan khusus terhadap kebudayaan Barat, karena
kebudayaan Barat bukanlah merupakan poros kebudayaan-kebudayaan seperti menurut
banyak sejarawan Barat.
2.2
Riwayat Hidup Arnold J. Toynbee
Arnold J. Toynbee lahir pada 14 April 1889
di London. Arnold Joseph Toynbee adalah anak dari Henry Valpy Toynbee, seorang
pengimpor teh yang beralih menjadi pekerja sosial, dan Sarah Edith Marshall,
sarjana unofficial di bidang sejarah dari Universitas Cambridge. Semasa kecil,
Toynbee dididik oleh ibunya dan seorang guru privat perempuan. Kemudian dia
meneruskan ke Wotton Court di Kent dan Winchester College. Dia cemerlang dalam
studinya, dan mendapatkan beasiswa untuk disiplin sastra Yunani dan Romawi Kuno
ke Balliol College, Oxford. Ketika menggeluti sastra Yunani dan Romawi kuno.
Toynbee merupakan penulis besar, menghasilkan karya yang tidak terhitung jumlahnya tentang agama, sejarah kuno dan modern, peristiwa kontemporer, dan hakekat sejarah.
Toynbee merupakan penulis besar, menghasilkan karya yang tidak terhitung jumlahnya tentang agama, sejarah kuno dan modern, peristiwa kontemporer, dan hakekat sejarah.
Setelah menamatkan studinya pada tahun
1912, Toynbee menjelajahi situs-situs sejarah di Yunani dan Itali. Ia mempunyai
harapan mampu membantu murid-muridnya 'mengenal keragaman kehidupan dan
peradaban', tak seorang pun dari mereka mampu memenuhi harapan sang guru. Dia
kemudian mengalihkan energinya untuk melakukan sesuatu yang kemudian menjadi
pekerjaan seumur hidupnya yaitu menulis. Toynbee mulai menulis sebuah buku
tentang sejarah Yunani dari masa prasejarah sampai masa Bizantium, namun
sebelum buku tersebut selesai dia terganggu oleh peristiwa yang terjadi di
masanya, seperti Perang Balkan pada 1912 dan 1913. Ia juga pernah ditugasi oleh
British (kini Royal) Institute for International Affairs untuk menulis sebuah
buku hasil riset lama dan mendalam tentang paeristiwa-peristiwa penting yang
terjadi sejak Perjanjian Versailles. Buku tersebut, Surveys of International
Affairs 1920-1923 (1925), menjadi buku hasil survey mendalam pertama yang dia
hasilkan sampai dia pensiun pada tahun 1953.
Tiap tahun, Toynbee berusaha mengabadikan banyak informasi (kebanyakan dari surat kabar) lewat catatan-catatan tentang peristiwa kontemporer di seluruh dunia.
Tiap tahun, Toynbee berusaha mengabadikan banyak informasi (kebanyakan dari surat kabar) lewat catatan-catatan tentang peristiwa kontemporer di seluruh dunia.
Toynbee juga mulai mengumpulkan
bahan-bahan buat karyanya yang kemudian terkenal: A Study of History (12
Jilid, 1934-1961). Keilmuan sejarah kontemporer, menurut Toynbee, kurang
sempurna sebab para sejarawan Eropasentris, meniru saintis, dan melakukan riset
tentang topik-topik kecil yang sepele. Menurut Toynbee, yang gagal mereka
mengerti adalah bahwa alam semesta menjadi bisa dipahami sejauh kia memahaminya
sebagai sebuah kesatuan. Dalam semangat itu, Toynbee bermaksud mempelajari
seluruh peradaban yang dikenal, yang masih ada maupun yang sudah punah. Dalam
sejumlah besar detail sejarah, menurutnya, sebuah pola bisa diungkap dan
diketahui.
2.3
Tafsiran Arnold J. Tyonbee
Arnold J. Tyonbee mengarang buku A Study of History tahun 1933. Teori
Tyonbee didasarkan atas penelitian terhadap 21 kebudayaan yang sempurna dan 9
kebudayaan yang kurang sempurna. Kebudayaan yang sempurna, antara lain: Yunani,
Romawi, Maya, Hindu, Barat/Eropa, dan yang kurang sempurna, antara lain: Eskimo,
Sparta, Polinesia, Turki. Menurut Tyonbee bahwa gerak sejarah tidak memiliki
hukum tertentu yang menguasai dan mengatur timbul tenggelamnya kebudayaan-kebudayaan
dengan pasti.
Kebudayaan (civilization) menurut Tyonbee
adalah wujud kehidupan golongan seluruhnya. Menurutnya, gerak sejarah berjalan
menurut tingkatan-tingkatan berikut:
1. Genesis
of civilizations, yaitu lahirnya kebudayaan;
2. Growth
of civilizations, yaitu perkembangan kebudayaan;
3. Decline
of civilizations, yaitu keruntuhan kebudayaan;
4. Breakdown
of civilizations, yaitu kemerosotan kebudayaan;
5. Disintegration
of civilizations, yaitu kehancuran kebudayaan;
6. Dissolution
of civilizations, yaitu hilang dan lenyapnya kebudayaan.
Suatu kebudayaan terjadi karena
challenge and response (tantangan dan jawaban antara manusia dan alam
sekitarnya). Dalam alam yang baik, manusia berusaha untuk mendirikan suatu
kebudayaan, seperti di Eropa, India, Tiongkok. Di daerah yang terlalu dingin, seolah-olah
manusia membeku (Eskimo), di daerah yang terlalu panas, tidak dapat timbul
suatu kebudayaan ( Sahara, Kalahari, Gobi). Apabila tantangan alam itu baik,
timbullah suatu kebudayaan.
Pertumbuhan dan perkembangan suatu
kebudayaan digerakkan oleh sebagian kecil dari pemilik kebudayaan. Jumlah kecil
itu menciptakan kebudayaan dan jumlah yang banyak (mayoritas) meniru kebudayaan
tersebut. Tanpa minoritas yang kuat dan dapat mencipta, suatu kebudayaan tidak
dapat berkembang.
Apabila minoritas lemah dan kehilangan
daya mencipta, tantangan dari alam tidak dapat dijawab lagi. Apabila minoritas
menyerah, mundur, pertumbuhan kebudayaan (decline) mulai tampak. Keruntuhan itu
terjadi dalam tiga masa, yaitu sebagai berikut:
1. Kemerosotan
kebudayaan
Terjadi karena minoritas kehilangan daya
mencipta serta kehilangan kewibawaannya, mayoritas tidak lagi bersedia
mengikuti minoritas. Peraturan dalam kebudayaan (antara minoritas dan
mayoritas) pecah dan tunas-tunas hidupnya suatu kebudayaan akan lenyap.
2. Kehancuran
kebudayaan
Mulai tampak setelah tunas-tunas kehidupan
itu mati dan pertumbuhan terhenti. Setelah pertumbuhan terhenti, seolah-olah
daya hidup itu membeku dan terdapatlah suatu kebudayaan itu tanpa jiwa lagi.
Tyonbee menyebut masa ini sebagai petrification, pembatuan atau kebudayaan itu
sudah menjadi batu, mati, dan menjadi fosil.
3. Lenyapnya
kebudayaan
Yaitu, apabila tubuh kebudayaan yang sudah
membatu itu hancur lebur dan lenyap.
Untuk menghindarkan keruntuhan suatu kebudayaan, hal yang mungkin dilakukan
adalah mengganti norma-norma kebutuhan. Dengan pergantian itu, tujuan gerak
sejarah adalah kehidupan ketuhanan atau kerajaan Allah menurut paham Protestan.
Dengan demikian, garis besar teori Toynbee mirip dengan santo agustinus, yaitu
akhir gerak sejarah adalah civitas dei atau kerajaan Tuhan
DAFTAR
PUSTAKA
Hasbullah,
Moeflih, M.A, Supriadi Dedi, M.Ag. 2012. Filsafat
Sejarah. Bandung: Pustaka Setia
http://jejak
sejarah FILSAFAT SEJARAH ARNOLD J.
TOYNBEE ( 1889-1975 ).html
http://WAEL
HISTORIAN PEMBAHASAN TEORI SPEKULATIF
DAN KRITIS Oleh Raman.html
http://laramansumiyati.blogspot.com/2010/06/pembahasan-teori-spekulatif-dan-kritis.html
Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Budaya Bangsa Indonesia Pada Masa Pergerakan Nasional Indonesia
2.1 Kondisi Sosial Bangsa Indonesia Pada Masa Pergerakan Nasional
Pengertian pergerakan
nasional secara menyeluruh yaitu suatu perjuangan yang dilakukan dengan
organisasi-organisasi secara modern kearah perbaikan taraf hidup bangsa Indonesia
yang disebabkan karena rasa tidak puas terhadap keaadaan masyarakat di bidang
sosial, ekonomi, maupun budaya pada saat itu.
Pergerakan di Indonesia berawal dari abad ke-20 yaitu
berkisar antara tahun 1900-1942. Awal abad ke-20 dalam sejarah Indonesia dikenal
sebagai periode Kebangkitan Nasional. Pertumbuhan kesadaran yang menjiwai
proses itu menurut bentuk manifestasinya telah melalui langkah-langkah yang
wajar, yaitu mulai dari lahirnya ide emansipasi dan liberal dari status serba
terbelakang, baik yang berakar pada tradisi maupun yang tercipta oleh situasi
kolonial. Kondisi sosial
bangsa Indonesia dapat dikelompokkan sebagai berikut:
2.1.1 Kondisi Sosial Dalam Bidang Pendidikan
Pendidikan pada
masa Pergerakan Barat lebih didominasi oleh pendidikan barat. Sebagian besar golongan masyarakat bumiputera yang memperoleh pendidikan
Barat. Pada tahun 1928, 45% golongan dari bumiputera yang setidaknya memperoleh
pendidikan rendah pada sekolah-sekolah bergaya Barat, dipekerjakan sebagai
pegawai-pegawai negeri. pendidikan Barat adalah karena dengan mengenyam
pendidikan ini maka seseorang dapat mendapatkan prioritas untuk memperoleh
posisi-posisi sebagai pengawasan dan pemegang kekuasaan. Maka tidak
mengherankan, apabila pendidikan Barat
menjadi idam-idaman orang dan orang menghargai mereka yang berpendidikan Barat
tanpa mengingat asal-usul mereka. Meskipun demikian, pada mulanya pendidikan
Barat sangat terbatas, hanya tersedia bagi anak priyayi tinggi. Selain dari pada itu pengetahuan mengenai Bahasa
Belanda di wajibkan dalam pendidikan Barat, sehingga pengetahuan itu lambat
laun hampir identik dengan lambang status yang tinggi.
Dalam perkembangan selanjutnya, basis dari
pendidikan Barat ini lebih diperluas lagi dan pada prinsipnya menjadi lebih terbuka, yang
sebelumnya bersifat tertutup untuk kalangan masyarakat kolonial pada umumnya.
Pendidikan Barat ini terbuka baik bagi mereka yang berbakat maupun berbangsa.
Meskipun demikian, pada sasarannya pendidikan Barat ini masih dibatasi, oleh
karena itu pada dasarnya pendidikan ini tidak sepenuhnya bersifat terbuka, dan
relatif hanya segelintir masyarakat kolonial yang dapat mengirimkan
anak-anaknya untuk memperoleh pendidikan pada sekolah–sekolah bergaya Barat.
Pada abad ke – 20, pemerintah kolonial Belanda
berhasil memadamkan perlawanan bersenjata di berbagai tempat di Indonesia. Hal
ini mengakibatkan Belanda memulai kekuasaanya di Indonesia secara politis.
Karena hal itu, perlawanan bangsa Indonesia pun mengalami perubahan yang
ditentukan oleh perkembangan pendidikan Indonesia. masalah pendidikan mendapat
perhatian yang agak besar dari pemerintah kolonial. Hal itu juga berkaitan
dengan dilaksanakannya politik etis. Tujuannya adalah untuk mendidik anak –
anak Indonesia agar dapat dipekerjakan sebagai pegawai rendahan dengan
gaji kecil di instansi pemerintah atau perusahaan swasta.
Setelah mereka dapat membaca berbagai macam
buku, wawasan mereka bertambah luas. Mereka dapat mengetahui dan membandingkan
perkembangan Barat serta ide – ide yang berkembang di Barat, seperti demokrasi
dan hak rakyat dalam pemerintahan dengan keadaan Indonesia saat itu.
Seiring dengan kebutuhan tenaga terdidik &
terampil, pemerintah kolonial menyelenggarakan pendidikan, yaitu sebagai
berikut :
·
Europese Lagere School ( ELS ). Untuk anak
keturunan Eropa
·
Sekolah Kelas Dua ( Angka Loro ). Untuk anak
pribumi kelas bawah
·
Sekolah Kelas Satu ( Angka Siji ). Untuk anak
pribumi kelas atas
Dengan meningkatnya kebutuhan pegawai terdidik,
pemerintah kolonial Belanda mengembangkan pendidikan untuk anak pribumi, yaitu
sebagai berikut :
· Anak pribumi
kalangan bawah
Didirikan sekolah rakyat ( Volkschool ) yang
berlangsung selama 3 tahun dengan penekanan pada kemampuan membaca, menulis,
dan berhitung. Murid yang pandai memperoleh kesempatan belajar di sekolah
lanjutan ( Vervolgschool ) selama dua tahun
·
Anak pribumi kalangan menengah
Didirikan sekolah dasar Hollands Inlandsche
School ( HIS ). Menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Pendidikan
berlangsung selama 7 tahun. Murid yang pandai dapat melanjutkan pendidikan ke
sekolah lanjutan tingkat pertama / Meer Uitgebried Lagere Onderwijs ( MULO )
lalu ke sekolah tingkat atas / Algemene Middlebare School ( AMS ).
·
Anak pribumi kalangan atas
Setelah selesai HIS mereka dapat melanjutkan ke
Hogere Burgerschool ( HBS ) selama 5 tahun. Selain sekolah umum, anak pribumi
kalangan atas juga dapat melanjutkan ke sekolah kejuruan, seperti sekolah
guru ( Kweekschool ) dan sekolah pamong praja.
Sejak tahun 1920, pribumi dapat mengikuti
pendidikan tinggi dalam negeri. Seperti bidang hukum Rechts Hoge School (
RHS ), bidang teknik Tecnische Hoge School ( THS ), dan bidang
kedokteran sekolah Sekolah Tot Opleiding Voor Inlandsche Aartsen ( STOVIA ).
Selain sekolah dari pemerintah kolonial, muncul
juga sekolah yang diselenggarakan oleh bangsa Indonesia sendiri yaitu Perguruan
Kebangsaan yang terbuka bagi semua rakyat pribumi. Karena sekolah
dari pemerintah kolonial hanya untuk kaum bangsawan dan orang yang mampu dalam
segi ekonomi.
2.1.2 Kondisi Sosial Dalam Perbedaan Ras
Selain dalam kondisi sosial pendidikan di
Indonesia, kondisi sosial bangsa Indonesia pada awal abad ke – 20 juga
menghadapi praktik diskriminasi dari kolonial Belanda. Diskriminasi itu
berdasarkan ras, golongan dalam masyarakat, dan suku bangsa.
Dalam diskriminasi ras, warna kulit seseorang
menentukan statusnya. Bahkan diadakan pula perbedaan gaji antara serdadu
pribumi yang berlainan suku. Dalam hal ini, suku Jawa paling disayangi
pemerintah kolonial karena dianggap penurut. Belanda juga melakukan pembagian
kelas sosial. Pembagian status sosial pada zaman kolonial Belanda ditetapkan
dalam aturan ketatanegaraan Hindia Belanda ( Indische Staatsregeling )
tahun 1927 yang berisi :
·
Belanda kulit putih atau Eropa dan yang
disamakan. Mereka terdiri atas bangsa Belanda dan bangsa
Eropa lainnya, serta bangsa lain ( bukan Eropa ) yang telah disamakan dengan
bangsa Eropa karena kekayaannya, keturunan bangsawan, dan orang yang
berpendidikan.
·
Golongan timur asing. Terdiri atas
orang Cina, Arab, India, dan Pakistan yang merupakan lapisan menengah.
·
Golongan pribumi, yaitu bangsa
Indonesia asli ( pribumi ) yang berada pada lapisan bawah.
Sedangkan pelapisan sosial dalam masyarakat
pribumi yaitu sebagai berikut :
·
Lapisan Bawah
Rakyat jelata
yang merupakan penduduk terbesar dan hidup melarat.
·
Lapisan Menengah
Para pedagang kecil dan menengah, petani kaya
dan pegawai.
·
Lapisan Atas
Keturunan
bangsawan atau kerabat raja yang memerintah suatu daerah. Lapisan ini terbagi
lagi dalam tingkatan dan gelar sesuai dengan kedekatan hubungan darah mereka
dengan raja. Golongan itu disebut elite tradisional dan elite daerah.Selain
itu, ada juga golongan elite agama. Mereka adalah para pemuka agama
seperti ulama dan kiayi.
Dengan keadaan yang seperti ini, mengakibatkan
kondisi sosial masyarakat Indonesia kurang terjalin dengan
lancar. Kurangnya hubungan antara masyarakat, antar penjajah. Hal ini berakibat
didaerah-daerah terjadi pemisahan hubungan antar manusia.
Diskriminasi berdasarkan ras hampir terjadi di
seluruh sendi kehidupan sosial. Pembatasan-pembatasan jabatan yang tajam
ditentukan atas dasar rasial dan mobilitasnya ke atas ditentukan batas-batasnya
sampai pada tingkat-tingkat tertentu. Diskriminasi ras ini ditandai dengan kaum
bumiputra yang berkutat pada jabatan-jabatan rendah dan pada lapisan atas yang
tipis terdiri atas golongan Eropa. Perbedaan status ekonomi antara golongan
kecil penduduk kulit putih dan masyarakat bumiputra di bagian yang paling
bawah.
Selain itu, adanya pembatasan-pembatasan
pergaulan sosial antara ras-ras. Tidak adanya kontak sosial dan adanya
pemisahan-pemisahan fisik yang sangat mencolok. Masyarakat Jawa dengan keras
dilarang memasuki perkumpulan-perkumpulan, lapangan-lapangan olahraga, sekolah-sekolah,
tempat-tempat umum dan daerah tempat dimana kediaman bangsa Belanda. Bentuk
lahiriah wilayah Indonesia pada saat ini masih menjadi bukti adanya
pemisahan-pemisahan pada zaman kolonial itu. Anggota-anggota sosial yang
dominan yang sebagian besar terdiri dari orang-orang Eropa, di kota–kota mereka
mempunyai daerah-daerah tempat tinggal yang khusus dan di bagian kota yang
baik. Karena pergaulan hidup antara golongan-golongan itu tertutup, maka
apabila tidak ada kontak yang perlu, golongan-golongan itu berusaha menjauhkan
diri satu sama lainnya. Dapat dinyatakan lebih konkrit, mereka hidup, bekerja
dan membangun pada jalan yang sama sekali berbeda, dan mereka mempunyai
kepentingan-kepentingan, kemampuan-kemampuan dan ideal-ideal yang tidak sama. Hanya
pada hubungan-hubungan formal, seperti hubungan majikan dengan buruh atau
hubungan tuan dengan hamba, terjadilah kontak tetapi kontak yang menunjukan
ketidaksamaan tersebut. Bilamana kontak sosial tidak dapat di hindari, maka
jarak sosial itu diterbitkan dan di lambangi dengan berbagai macam etiket dan
berbagai macam mekanisme untuk melindungi diri sendiri. Semua bentuk
pemisahan yang mencolok itu di
institusionalisasikan untuk mencegah kontak sosial pada tingkat - tingkatan
dimana ada kesamaan sosial atau keakraban. Dilihat dari segi ini, maka
masyarakat kolonial itu sunggun -sungguh menyerupai masyarakat yang berkasta.
Tahun 1930
jumlah seluruh penduduk bumiputra di Jawa hampir mendekati 41.000.000 sedangkan
untuk jumlah penduduk Eropa hampir 200.000. Berarti jumlah penduduk Eropa hanya
sebesar 0,5% dari penduduk bumiputra. Penduduk yang sedikit banyak boleh
dikatakan penduduk kota hanya 3.500.000 atau 8,5% dari seluruh penduduk Jawa.
Dari jumlah itu golonga Eropa seluruhnya berjumlah 650.000. 64,5%. dalam waktu
30 tahun jumlah mereka bertambah tiga kalilipat. Kenaikan jumlah masyarakat
Eropa ini dikarenakan karena adanya perluasan aparatur pemerintah dan
perusahaan-perusahaan Barat. Sesuatu hal yang menarik perhatian bahwa pada
periode itu juga pendudukan dan pekerjan terbuka lebih besar bagi bangsa
Indonesia. Meskipun bagsa Indonesia dapat diangkat pada fungsi-fungsi taraf
menengah, tapi bagian-bagian tingginya sebagian diisi oleh orang-orang Eropa,
yaitu Indo Eropa atau mereka yang di datangkan ke Jawa dari negeri Belanda.
Dari sini dapat ditemukan adanya prinsip diskriminasi ras. Statistik 1938
menunjukan pertalian dari proporsi itu, dimana Panitia studi perubahan -
perubahan politik membuat suatu gambaran diantaranya adalah :
a.
92,2% dari pegawai-pegawai tinggi pada
dinas-dinas pemerintah adalah orang Eropa. Pada berbagai cabang fungsi-fungsi
golongan administratif golongan Eropa menjadi mayoritasnya, misalnya 77% dalam
staf teknis, 83% dalam staf pengawasan, dan 67% dalam sataf keuangan.
b.
Sedangkan 6,4% bangsa Indonesia.
2.1.3 Kondisi
Sosial Dalam Tipe Tempat Tinggal
Selain digolongkan berdasarkan kriteria
diskriminasi ras, stratifikasi sosial yang terjadi dalam kalangan masyarakat
kolonial ini dapat digolongkan berdasarkan tipe tempat tinggal. Tahun 1930
jumlah penghuni rumah rata-rata 4 orang bagi golongan Eropa dan 4,7 orang bagi
bangsa Jawa. Dan hanya 2% dari penduduk Eropa di Jawa yang berdiam di rumah
yang dibuat dari material yang tidak permanen, sedangkan untuk golongan
bumiputra 40%. Jumlah rumah batu yang didiami golongan Eropa berjumlah 35.890
buah, sedangkan yang didiami golongan bumuputra berjumlah 352.353 buah.
Rumah dengan gaya modern juga menjadi tanda
status kehidupan yang tinggi. Lokasi rumah yang khusus, ukuran besarnya,
struktur dan susunannya. Semua itu secara langsung menunjukan status
pemiliknya. Rumah-rumah priyayi tinggi berukuran besar, dibuat dari batu
seperti halnya rumah-rumah pegawai menengah dan pegawai tinggi sedangkan
pegawai-pegawai rendahan bertempat tinggal di rumah-rumah kayu dan
penduduk-penduduk desa di rumah -rumah bambu. Namun mengenai hal ini belum
dapat dibuat anilisis statistik dari data sosial ekonomi mengenai unsur
kebudayaan ini. Selain ini juga ada kriteria lain yang digunakan sebagai
penggolongan masyarakat kolonial kedalan struktur sosial, kriteria tersebut
adalah sektor pendidikan.
Pendidikan umumnya merupakan alat yang
dijadikan untuk menyeleksi dan melatih seseorang dalam rangka untuk memegang
posisi-posisi dalam suatu status dalam masyarakat. Pendidikan yang ada di
lingkungan masyarakat Jawa sangatlah penting, karena pendidikan dijadikan
sebagai salah satu kriteria yang lazim dalam pengangkatan jabatan di berbagai
lembaga kedinasan, baik itu lembaga-lembaga pemerintahan ataupun
perusahaan-perusahaan swasta. Sebagian besar golongan masyarakat bumiputera
yang memperoleh pendidikan Barat mendapatkakn pekerjaan pada dinas - dinas
pemerintahan.
Pada tahun 1928, 45% golongan dari bumiputera
yang setidaknya memperoleh pendidikan rendah pada sekolah-sekolah bergaya
Barat, dipekerjakan sebagai pegawai-pegawai negeri. Dapat dikatakan dari data
tersebut bahwa, politik pengajian pemerintah lebih didasarkan pada penyamaan
fungsi dengan gaji dan pendidikan. Dari sini dapat ditarik kesimpulan menegenai
daya tarik dari pendidikan Barat adalah karena dengan mengenyam pendidikan ini
maka seseorang dapat mendapatkan prioritas untuk memperoleh posisi-posisi
sebagai pengawasan dan pemegang kekuasaan. Maka tidak mengherankan,
apabila pendidikan Barat menjadi
idam-idaman orang dan orang menghargai mereka yang berpendidikan Barat tanpa
mengingat asal-usul mereka. Meskipun demikian, pada mulanya pendidikan Barat
sangat terbatas, hanya tersedia bagi anak priyayi
tinggi.Selain dari pada itu pengetahuan mengenai Bahasa Belanda di wajibkan
dalam pendidikan Barat, sehingga pengetahuan itu lambat laun hampir identik
dengan lambang status yang tinggi.
Dalam perkembangan selanjutnya, basis dari
pendidikan Barat ini lebih diperluas lagi dan pada prinsipnya menjadi lebih
terbuka, yang sebelumnya bersifat tertutup untuk kalangan masyarakat kolonial
pada umumnya. Pendidikan Barat ini terbuka baik bagi mereka yang berbakat
maupun berbangsa. Meskipun demikian, pada sasarannya pendidikan Barat ini masih
dibatasi, oleh karena itu pada dasarnya pendidikan ini tidak sepenuhnya
bersifat terbuka, dan relatif hanya segelintir masyarakat kolonial yang dapat
mengirimkan anak-anaknya untuk memperoleh pendidikan pada sekolah–sekolah
bergaya Barat.
2.1.4 Kondisi
Sosial dalam Segi Jabatan
Salah satu hal yang khas dari masyarakat
kolonial adalah adanya perbedaan pokok antara pekerjaan-pekerjaan Eropa dan
non-Eropa. Pengangkatan-pengangkatan yang terjadi dalam kategori
pekerjaan-pekerjaan Eropa erat kaitannya dengan skala gaji khusus, yang
dicocokan dengan taraf hidup yang tinggi dari golongan Eropa. Hal ini yang
dinamakan dengan golongan penghasilan skala C, untuk skala B pengetahuan
tentang bahasa Belanda diwajibkan, sedangkan skala A meliputi beberapa
pekerjaan dimana bahasa Belanda diwajibkan, dan beberapa pekerjaan bagi mereka
yang berpendidikan dasar dengan bahasa bumiputra. Selain itu juga ditemui
golongah upahan yang tergolong dalam skala upahan bumiputra. Posisi pada
dinas-dinas pemerintah di mana bahasa Belanda diwajibkan berjumlah 19.6% sedang
pada perusahaan partikelir 17%.
Sejak diberlakukannya peraturan kepegawaian
yang berdasar pada background pendidikan, dalam hal ini dilihat pada
sekolah-sekolah model Barat pada umumnya, dan pengetahuan mereka tentang bahasa
Belanda khususnya, maka pembagian jabatan menunjukan gambaran sebagai berikut:
1.
Pertama golongan yang bergaji kurang dari f 50
yang termasuk golongan Eropa hanya 0.49% dan 92,61% adalah golongan bumiputra,
sedang kategori pegawai dengan gaji f 250 atau lebih golongan Eropanya meliputi
82,65% dan golongan bumiputranya hanya 7,35%.
2.
Kedua, dintara 8.303 orang pejabat pada
dinas-dinas pemerintah hanya ada 189 orang bumiputra.
3.
Ketiga, personel administrasi dari kelas B
prosentase pegawai-pegawai bumiputra makin keatas makin menurun.
Berdasarkan data tersebut, 66,9% dari pos-pos
tulis kelas dua diduduki oleh golongan bumiputra, 52% pada pos-pos juru tulis kelas satu, 47% pada
pos-pos ajung-komis, 30,2% pos komis
kelas satu, 0,7% pada komis tingkat kepala, dan tidak ada sama sekali pada pos
kepala kantor. Angka-angka yang menunjukan prosentase pegawai Eropa sebaliknya,
yaitu menanjak keatas dari 31% dan berakhir pada 100%.
Secara umun dapat disimpulkan bahwa, aspek
pembedaan penghasilan itu sebaian besar disesuaikan dengan dengan perbedaan
ras, dengan pengolongan rata–rata sedikit golongan Eropa di bagian atas dan
banyak sekali golongan bumiputra di bagian bawah. Terpencarnya golongan
bumiputra di dalam stratifikasi jabatan pada masyarakat Jawa dan diteruskan
pembedaan warna dapat digambarkan dengan suatu diagram yang berbentuk limas.
Diagram ini mengambarkan, bahwa terdapat ketidak seimbangan pada penempatan
masyarakat kolonial Jawa, dikarenakan diskriminasi ras dan faktor pendidikan
yang minim pada masyarakat kolonial Jawa. Dalam stratifikasi sosial tersebut
juga pada lapisan tengahnya terlampau sedikit atau tidak ada sama sekali dari
masyarakat kolonial. Apalagi pada lapisan atas, tidak ditemukannya masyarakat
dari golongan kolonial Jawa.Lapisan atas dan tengah cenderung diduduki oleh
masyarakat Belanda dan Indo Belanda.Baru pada lapisan bawah banyak ditemui
masyarakat kolonial Jawa.
2.2 Kondisi Ekonomi Bangsa Indonesia Pada Masa Pergerakan Nasional
Pergerakan
Nasional Indonesia telah kita ketahui berawal dari abad ke-20, dimana pada
abad ke-20 masyarakat Indonesia merupakan masyarakat kolonial yang serba
terbelakang, misalnya saja pada bidang ekonominya. Pada masa Pergerkan Nasional
di Indonesia masih dipengaruhi oleh reaksi-reaksi para penjajah yang selalu
menimbulkan pertentangan kepentingan secara terus menerus. Reaksi penjajah
tersebut yaitu sistem eksploitasi. Penjajah melakukan tindakan ekonomi untuk
melindungi kepentingan ekonominya, sehingga motif ekonomi pada situasi kolonial
menjadi faktor dominan untuk menetukan hubungan antara golongn-golongan social.
Meskipun pada abad ke-20 telah menghapus istilah wingewes, tetapi kenyataannya pemerintah colonial tetap
mempertahankan eksploatasi.
Dengan pertentangan kepentingan
tersebut menyebabkan keadaan ekonomi pada masa Pergerakan Nasional masih tetap terbelakang.
Kondisi ekonomi menjadi terbelakang karena sistem produksi pada masa Pergerakan
Nasional masih menggunakan cara produksi yang lama yang tidak mampu menghadapi
kapitalis kolonial yang mempunyai
organisasi dan tekhnologi modern. Keadaan yang terus seperti ini, yang
menghalangi usaha perekonomian bangsa Indonesia menimbulkan suatu sikap
solidaritas yang mengarah pada usaha emansipasi ekonomi. Pada masa Pegerakan
Nasional kegiatan perekonomian masyarakat Indonesia yang masih pedagang, maka
mewujudkan solidaritas dengan bentuk reaksi yang diucapkan pada pedagang asing.
Pihak Pergerakan Nasional Indonesia, seperti Sarekat Islam misalnya yang
bertujuan untuk meningkatkan kehidupan ekonomi rakyat dengan memajukan
perdagangan dan melindungi kebutuhan-kebutuham materialnya. Usaha Sarekat Islam
yang bersifat ekonomi membawa pengaruh pada organisasi lain untuk membantu
perekonomian bangsa Indonesia, yaitu Boedi Utomo, Pasundan, Perkumpulan Bupati.
Kemudian segera menyusul ide kemajuan beserta
cita-cita untuk meningkatkan taraf kehidupan bangsa Indonesia. Ide-ide yang
muncul tersebut akan melandasi pergerakan organisasi-organisasi yang tumbuh dan
berkembang pada masa itu. Bahkan masing-masing organisasi memiliki dasar dan
idiologi yang dapat memperkuat kedudukan maupun perjuangannya. Ideologi-ideologi tersebut meliputi :
1.
Ideologi Liberalisme.
Ideologi liberalisme diperkenalkan di Indonesia
oleh orang-orang Belanda yang mendukung perjuangan bangsa Indonesia.
Orang-orang Belanda tersebut melihat banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan
seperti dengan bertindak sangat jauh di luar batas-batas perikemanusiaan.
Tindakan-tindakan pemerintah kolonial Belanda yang mereka kecam, seperti
tindakan pemerasan, kekejaman atau penyiksaan dan lain sebagainya.
Masalah-masalah seperti ini mereka sampaikan
pada saat diselenggara-kan sidang parlemen di negeri Belanda. Mereka mengecam
dengan keras segala tindakan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda
bersama kaki tangannya di wilayah Indonesia. Mereka mengusulkan agar pemerintah
kerajaan Belanda memerintahkan pelaksanaan paham liberalisme di Indonesia.
Diharapkan paham liberalisme dapat membawa masyarakat Indonesia kepada
perubahan yang lebih baik.
Paham liberalisme merupakan suatu paham yang
mengutamakan kemerdekaan individu atau kebebasan kehidupan masyarakat. Sebab
dalam alam kebebasan itu masyarakat dapat berkembang dan berupaya meningkatkan
kesejahteraan hidupnya. Paham liberalisme ini dikembangkan oleh
organisasi-organisasi politik di Indonesia seperti Indische Partij.
2.
Ideologi Nasionalisme.
Ideologi Nasionalisme kali pertama diperkenalkan
oleh organisasi politik yang muncul di wilayah Indonesia. Ideologi Nasionalisme
menjadi dasar perjuangan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang diketuai oleh Ir.
Soekarno. Nasionalisme sebagai suatu ideologi menunjukkan suatu bangsa yang
mempunyai kesamaan budaya, bahasa, dan wilayah. Selain itu, juga kesamaan
cita-cita dan tujuan. Dengan demikian kelompok tersebut dapat merasakan adanya
kesetiaan yang mendalam terhadap kelompok bangsa itu.
3.
Ideologi Komunis.
Ideologi komunisme diperkenalkan kali pertama
oleh Sneevliet, seorang pegawai perkereta-apian yang berkebangsaan Belanda.
Ideologi komunisme ini diwujudkan dalam pembentukan organisasi yang bemama
Indische Social Democratis The Vereeniging (ISDV). Organisasi ISDV sangat sulit
mendapatkan dukungan dari rakyat karena rakyat kurang mempercayai orang
Belanda.
Kesulitan memperoleh dukungan rakyat, Sneevliet
kemudian menjalin hubungan dengan Semaun, seorang ketua cabang Sarekat Islam di
Semarang. Terjalinnya hubungan antara Sneevliet dengan Semaun memunculkan
pembentukan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1920.
Gerakan PKI yang sangat radikal, dilanjutkan dengan melakukan pemberontakan
tahun 1926 dan 1927. Namun akibat kegagalan dari pem-berontakan itu, PKI
dijadikan sebagai partai teriarang di Indonesia pada masa kekuasaan kolonial
Belanda.
4.
Ideologi Demokrasi.
Ideologi demokrasi pertama kali muncul di daerah
Yunani dengan sistem demokrasi langsung. Artinya rakyat ikut serta menentukan
jalannya suatu pemerintahan. Akan tetapi, sistem demokrasi ini tidak mungkin
dapat dilaksanakan di Indonesia pada masa pergerakan Nasional. Hal ini
disebabkan karena bangsa Indonesia masih berada di bawah penjajahan Belanda.
Belanda tidak mungkin menerapkan sistem demokrasi di wilayah Indonesia, karena
hal itu akan merugikan kekuasaan pemerintah kolonial Belanda.
Sistem demokrasi baru dapat
terlaksana di wilayah Indonesia setelah Indonesia merdeka. Sistem demokrasi
yang dilaksanakan di Indonesia dikenal dengan sistem demokrasi Pancasila.
5.
Ideologi Pan-lslamisme.
Ideologi Pan-Islamisme merupakan suatu paham
yang bertujuan mempersatukan umat Islam sedunia. Ideologi ini muncul berkaitan
erat dengan kondisi abad ke-19 yang merupakan kemunduran dunia Islam. Sementara
itu, dunia Barat berada dalam kemajuan dan melakukan penjajahan terhadap
negara-negara Islam, termasuk Indonesia yang mayoritas masyarakatnya beragama
Islam.
Pan-Islamisme merupakan suatu gerakan yang radikal dan progresif. Hal ini
sangat disadari oleh kaum atau negara-negara imperialisme Barat termasuk
Belanda yang menjajah Indonesia. Semangat yang terkandung dalam gerakan
Pan-Islamisme telah membangkitkan rasa kebangsaan yang kuat dengan didasari
ikatan keagamaan. Ideologi ini telah mendorong munculnya organisasi-organisasi
yang berdasarkan keagamaan di wilayah Indonesia seperti Sarekat Islam (SI),
Muhammadiyah, dan lain-lain.
Perkembangan
sejarah nasional juga ditandai dengan berdirinya organisasi-organisasi
pergerakan. Organisasi-organisasi pergerakan nasional tersebut meliputi :
1.
Budi
Utomo
Budi utomo adalah organisasi
modern pertama yang didirikan oleh Sutomo, Suraji, dan Gunawan Mangunkusumo di
Jakarta, pada tanggal 20 Mei 1908. Budi Utomo bercita-cita mencapai kemajuan
dan meningkatkan derajat bangsa Indonesia. Tujuan tersebut hendak dicapai
melalui usaha, antara lain:
a.
Memajukan
pengairan
b.
Memajukan
pertanian, peternakan, dan perdagangan
c.
Memajukan
industri
d.
Menghidupkan
kembali budaya bangsa
Budi utomo merupakan organisasi
yang bersifat kedaerahan (Jawasentris). Walaupun demikian, kelahiran Budi Utomo
merupakan pelopor pergerakan nasional Indonesia pertama, sehingga tanggal
berdirinya ditetapkan sebagai hari kebangkitan nasional Indonesia. Budi utomo
mengalami kemunduran karena kesulitan keuangan dan para bupati mendirikan
organisasinya sendiri, anggota golongan muda banyak menarik diri karena kecewa
terhadap strategi perjuangan Budi utomo, sehingga memunculkan
organisasi-organisasi baru yang lebih memenuhi keinginan masyarakat.
2. Indische Partij
Organisasi pergerakan nasional
pertama yang secara terang-terangan menyatakan dirinya sebagai partai politik
ialah Indische Partij. Didirikan oleh Tiga Serangkai (E.F.E Douwes Dekker, dr.
Cipto Mangunkusumo, dan Ki Hajar Dewantara) pada tahun 1912 di Bandung.
Indische Partij secara tegas menyatakan berjuang untuk melepaskan diri dari
penjajahan atau mencapai Hindia merdeka dan cita-cita organisasi tersebut
disebarluaskan melalui surat kabar De Express. Anggotanya masih terbatas pada
lingkungan elite terpelajar namun tidak lagi bersifat kedaerahan seperti Budi
Utomo. Pada tahun 1913 IP dibubarkan dan dinyatakan sebagai organisasi
terlarang karena telah mengkritik Belanda dan tindakan tersebut dianggap
terlalu radikal.
3. Sarekat Islam (SI)
Sarekat Islam didirikan di Solo
pada tahun 1911 oleh Haji Samanhudi. Tujuan perkumpulan ini adalah menghimpun
para pedagang Islam agar dapat bersaing dengan para pedagang asing. SI tumbuh
dengan pesat karena beberapa faktor, yaitu :
a. Kesadaran
nasional sebagai suatu bangsa yang mulai tumbuh
b. Bersifat
kerakyatan
c. Didasari
agama islam
d. Digerakkan
oleh para ulama
Adapun faktor yang mendorong didirikannya Sarekat
islam, antara lain:
1. Ekonomi,
untuk memperkuat menghadapi persaingan dengan para pedagang Cina yang
menggendalikan penjualan bahan baku batik.
2. Agama,
untuk memajukan islam.
4. Partai Komunis Indonesia (PKI)
PKI merupakan organisasi sosial
radikal yang merupakan jelmaan dari ISDV yang didirikan Snevlier, Drekker, dan
Bransteder pada tahun 1914. Tujuan PKI ialah menyebarluaskan paham sosialis
demokratis dengan membangun perasaan revolusioner bangsa Indonesia. Dan sejak
Kongres I PKI tahun 1924, gerakan politik PKI menjadi semakin agresif dan
ekstrem dengan melakukan agitasi dan propaganda yang bersifat menghasut dan
menyerak pemerintah Belanda. Karena politiknya yang radikal tersebut PKI
dinyatakan sebagai organisasi terlarang dan dibubarkan pada tahun 1927.
5. Taman Siswa
Taman Siswa merupakan sekolah
kebangsaan pertama yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara pada tanggal 3 Juli
1922. Tujuan pendidikan Taman Siswa adalah mewujudkan masyarakat yang tertib
dan damai yang dicapai mendasar pada asas Panca Dharma. Isi asas tersebut
antara lain:
a. Dasar
kodrat alam
b. Dasar
kemerdekaan
c.
Kebudayaan
d. Dasar
kebangsaan atau kerakyatan
e. Kemusiaan
6. Partai Nasional Indonesia (PNI)
PNI didirikan di Bandung pada
tanggal 4 Juli 1927. Adapun para pendiri PNI antara lain, Ir. Sukarno (diangkat
menjadi ketua PNI), Mr. Sartono, dan Mr. Sunaryo. Tujuan berdirinya PNI dalam
politik adalah untuk mencapai Indonesia merdeka. Dan tujuan tersebut hendak
dicapai dengan percaya diri sendiri dan memperbaiki keadaan politik, ekonomi,
serta sosial budaya yang sudah rusak oleh penjajahan. Dan organisasi ini
merupakan organisasi yang beraliran nasionalisme sehingga menolak untuk bekerja
sama denagn pemerintah Belanda.
7. Pergerakan Kaum Wanita
Pelopor gerakan wanita Indonesia
adalah R.A Kartini yang lahir pada tanggal 21 April 1879. Cita-cita beliau
adalah memperbaiki derajat kaum wanita melalui pendidikan dan pengajaran. Dari
Jawa Barat juga muncul tokoh wanita Dewi Sartika. Pergerakan kaum wanita umumnya
bersifat sosial denagn tujuan untuk memperoleh persamaan hak dengan kaum pria
dan meningkatkan kemampuan dan kecerdasan kaum wanita.
8. Gerakan Pemuda
Lahirnya beberapa organisasi
pergerakan pada masa pergerakan Indonesia telah mendorong lahirnya organisasi
kepemudaan seperti:
a.
Tri
Koro Darmo
Tri Koro Darmo memeiliki arti
tiga tujuan mulia, yaitu Sakti, Budi, dan Bakti. Organisasi ini berdiri di
Jakarta pada tanggal 7 Mei 1915. Tujuan didirikannya yaitu untuk mencapai Jawa
Raya dengan jalan memperkukuh rasa persatuan antara pemuda-pemuda Jawa, Sunda,
Madura, Bali, dan Lombok.
b.
Jong
Sumatranen Bond
Organisasi ini berdiri pada
tanggal 9 Desember 1917 di Jakarta dan di Bukut Tinggi. Tokoh utama organisai
ini adalah Moh. Hatta dan Moh. Yamin.
c.
Jong
Islamiten Bond (JIB)
Jong Islamiten Bond berdiri pada
tanggal 1 Januari 1925 oleh Syamsul rizal, mantan ketua Jing Java. Tujuan dari
organisai ini adalah mempererat pesatuan di kalangan pemuda Islam berumur 14-30
tahun.
9. Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI)
PPPI didirikan pada bulan
September tahun 1926 oleh pelajar di Jakarta dan Bandung. Tujuan didirikannya
PPPI adalah memperjuangkan Indonesia merdeka.
10. Pemuda Indonesia
Tujuan Pemuda Indonesia adalah
memperluas dan mempererat kesatuan nasional Indonesia. Organisasi ini didirikan
pada tanggal 20 Februari 1927. Anggota PI terdiri atas pelajar yang pernah
bersekolah di luar negeri untuk membedakan anggota PPPI yang bersekolah di
dalam negeri.
11. Organisasi Pergerakan Bersifat Keagamaan
a. Muhammadiyah
Muhammadiyah didirikan pada tanggal 18 November
1912 oleh K.H. ahmad Dahlan.
b. Nahdatul
Ulama (NU)
Nahdatul Ulama didirikan pada tanggal 21 januari
1926 di Surabaya. Asas NU adalah islam dan kebangsaan Indonesia. Tujuan
pendirian NU ialah menegakkan syariat Islam berdasarkan mazhab Syafii.
c. Persatuan
Muslimin Indonesia (Permi)
Permi merupakan organisasi Islam yang bercorak
nasionalisme radikal dan bertujuan untuk mencapai Indonesia merdeka.
12. Kongres Pemuda
Untuk menyatukan semua organisasi
pergerakan nasional maka diadakanlah Kongres Pemuda Indonesia I tahun 1926 di
Yogyakarta. Meskipun pada waktu itu, belum berhasil membentuk satu organisai
pemuda, namun dalam kongres tersebut telah dibuktikan betapa kuatnya semangat
persatuan dikalangan kaum muda Indonesia. Kongres Pemuda II berlangsung di
Jakarta tanggal 26-28 Oktober 1928. Dalam kongres tersebut para wakil pemuda
seluruh Indonesia menyatakan ikrar kebulatan tekad atau yg disebut Sumpah
Pemuda.
13. Perhimpunan Indonesia
Para pelajar dan mahasiswa
Indonesia di Negeri Belanda pada tahun 1908 mendirikan sebuah organisasi yang
bernama Indische Vereneeging. Tujuan pendirian organisasi ini adalah untuk
memperjuangkan kepentingan orang Indonesia di Negeri Belanda. Pada tahun 1922,
organisasi Indische Vereneeging berganti nama menjadi Indonesische Vereneeging
dan pada tahun 1924 diubah lagi menjadi Perhimpunan Indonesia. Kegiataan
organisasi ini terbatas pada pertemuan para anggota dan mengadakan pertemuan
dengan orang-orang Belanda yang memperhatikan Indonesia. Aktivitas lain yang
dilakukan Perhimpunan Indonesia adalah mengikuti Kongres Liga Demokrasi di
Paris, Perancis pada tahun 1926.
14. Partai Indonesia Raya (Parindra)
Dokter Sutomo pada tahun 1931
mendirikan Persatuan Bangsa Indonesia (PBI). Pada tanggal 24-26 Desember 1935
diadakan kongres fusi Budi Utomo dengan PBI untuk menyatukan partai-partai
kecil agar memperoleh kekuatan besar. hasil fusi tersebut menghasilkan partai
baru yang disebut Partai Indonesia Raya(Parindra). Tujuan partai tersebut
tercantum dalam namanya, yaitu Indonesia Raya. Parindra banyak bergerak dalam
bidang pemberantasan buta huruf dan perbaikan pelajaran.
15. Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo)
Didirikan oleh para mantan
pendiri Partindo tanggal 24 Mei 1937. Tujuan Gerindo adalah mencapai
pemerintahan negara yang berdasarkan kemerdekaan politik, ekonomi, dan sosial.
Kondisi sosial-ekonomi masyarakat
Indonesia yang sangat buruk misalnya dengan upah yang sangat rendah, kerja
paksa, pajak tanam, tanah partikelir, industri gula, dan lain sebagainya.
Dengan situasi seperti ini, perjuangan ekonomi mulai dimunculkan dengan gerakan
massa. Namun antitesis antara pihak penjajah dan pihak terjajah menjadi makin
tajam. Pihak penjajah makin besar kekayaannya dan rakyat Indonesia menderita.
Kondisi ekonomi yang makin buruk menyebabkan pergerakan itu menjadi lebih
radikal. Pemogokan pegawai-pegawai dan kaum buruh memanifestasikan
kejengkelan-kejengkelan hati terhadap krisis ekonomi yang terpaksa dijalani
rakyat.
Diskriminasi politik ekonomi,
seperti pembatasan-pembatasan dan penarikan pajak atas penghasilan karet rakyat
atau peraturan terhadap pendirian pabrik gula penduduk pribumi, memperbesar
pertentangan ekonomi dan menyebabkan kesadaran ekonomi di antara kaum
nasionalis menjadi lebih besar. Sadar akan modal kolonial menghalangi usaha
emansipasi ekonomi dan tetap mempertahankan tanah jajahannya untuk mendapatkan
keuntungan yang besar. Di masa Pergerakan Nasional organisasi Boedi Oetomo dan
Partai Bangsa Indonesia telah memberi bentuk-bentuk konkrit kepada cita-cita
ekonomi nasional dan dapat dianggap suatu bukti adanya prinsip berdiri di atas
kaki sendiri.
2.3 Kondisi Budaya Bangsa Indonesia Pada Masa Pergerakan Nasional
Ketika memasuki masa pergerakan nasional pada abad 20 kondisi bangsa Indonesia masih dipengaruh budaya barat yang dibawa
oleh para penjajah.Hal ini bisa terjadi karena bangsa penjajah masih ingin
menguasai Indonesia untuk menghasilkan keuntungan yang bear untuk bangsanya. Di
Indonesia terdapat beberapa budaya, baik itu budaya asli bangsa Indonesia
maupun budaya barat. Namun pada masa Pergerakan Nasional budaya asli Indonesia
mengalami keterburukan, Budaya bangsa Indonesia tidak digunakan di seluruh
Indonesia melainkan budaya Baratlah yang menjadi penguasa di Indonesia.
Misalnya saja budaya bahasa Melayu, di Indonesia hanya sedikit diberlakukannya
bahasa Melayu, lebih banyak menggunakan bahasa Belanda dalam berkomunikasi.
Jadi, kondisi budaya bangsa Indonesia pada masa Pergerakan Nasional mengalami
keterbatasan.
2.3.1 Budaya Dalam Segi Bahasa
Pada masa
Pergerakan Nasional, Indonesia masih dipengaruhi oleh budaya barat. Dalam segi
bahasa, bahasa melayu yang merupakan bahasa Indonesia pada saat itu tidak
digunakan sepenuhnya di wilayah Indonesia, melainkan Bahasa Belanda yang banyak
digunakan. Karena pada saat pergerakan nasional bangsa Belandalah yang masih
berkuasa di Indonesia. Masyarakat Indonesia dalam berkomunikasi lebih dominan
berbahasa Belanda, apalagi jika berkomunikasi dengan orang Belanda harus
menggunakan bahasa Belanda. Bahasa melayu hanya diberlakukan oleh
masyarakat-masyarakat tertentu, misalnya oleh masyarakat di daerah pedesaan
yang jauh dari kota. Jadi budaya bahasa asli Indonesia mengalami
keterbelakangan pada masa pergerakan nasional.
2.3.2 Budaya Dalam Segi Bangunan di Kota-Kota
Selain bahasa juga pada model bangunan-bangunannya, memasuki abad ke-20 bangunan tidak berbeda jauh dari sebelumnya,
hanya saja bangunan-bangunannya sudah rapat satu sama lain. Dengan
berkembangnya penduduk Eropa, yang bersamaan dengan meluasnya system pemerintah
colonial beserta birokrasinya, bangunan-bangunan sudah mulai berupa gedung-gedung pemerintahan dan
kediaman pejabat. Kabupaten menghadap alun-alun dan disekitarnya terdapat rumah
asisten residen dan kontrolir, gedung pengadilan, rumah penjara, gudang garam,
kantor pos, dan telepon serta rumah-rumah pejabat. Gedung-gedung sekolah juga
sudah mulai dibangun. Bangunan rumah sakit, lapangan olahraga, dan lain
sebagainya juga sudah ada.
Memasuki abad
ke-20 pola pemukiman kota menunjukkan jelas sifat pluralistis masyarakat
Indonesia. Kompleks rumah tembok atau (loji) dengan halam luas dipemukiman
digolongan Eropa dan elite di bumi, pecinan dengan bangunan yang padat dan
rapat satu sama lain, kemudian kampung terutama kaum pribumi tinggal, yang
biasanya merupakan kontras dengan daerah lainnya, baik kualitas bangunannya
maupun system sanitasinya.
Berdasarkan
cacah jiwa dari tahun 1920 kira-kira 7,63% dari penduduk. Jawa dan Madura tinggal
di kota yaitu pusat pemukiman yang berpenduduk lebih kurang 10.000 keatas. Pada
tahun 1930 jumlah itu naik menjadi 8,51%.
Diantara 77
kota yang diukur pertumbuhannya dari 1920 sampai 1930 ternyata kenaikannya
hanya 6,63% menjadi 7,63%, jadi naik kurang lebih 1%. Dengan demikian, laju
urbanisasi tidak terlalu cepat, antara lain karena tidak ada industrialisasi
yang berarti pada satu pihak dan mobilisasi pelayanan yang sangat terbatas pada
pihak lain.
Disamping
mencerminkan pluralism masyarakat Indonesia, pola pemukiman di kota-kota juga
menunjukkan stratifikaso social masyarakat colonial dimana mengelompokkan
menurut garis warna sangat mencolok. Pecinan sebagai pusat perdagangan
merupakan enclave, dimana bangsa Cina dan warga timur asing lainnya tinggal.
Dikota-kota tipe tersebut diatas pada umumnya jumlah bangsa Eropa terbatas.
Pada umumnya mereka tinggal dimana terdapat garnisun militer colonial atau
didekat perkebunan yang sekaligus menjadi pesanggrahan karena iklimnya yang
sejuk. Hanya elite atas local sajalah yang bertempat tinggal diloji beredekatan
dengan golongan Eropa itu. Kampung-kampung menjadi tempat tinggal kaum pribumi
saja, dimana perumahannya lazim bergaya pribumi dengan kebun dan halaman yang
masih penuh dengan pohon dan tanaman rindang, sehingga memberi wajah setengah
pedesaan. Adapun penduduknya adalah campuran dari golongan atau kelas menengah
dan kelas bawah, serta antara penghuni lama dan pendatang. Perlu disebut
tempat-tempat umum seperti pasar, kantor-kantor, stasiun kereta api dan bus,
masjid dan greja serta klenteng, lapangan olahraga, balai pertemuan. Jaringan
social memberi titik kontak social bagi penduduk kota, meskipun terbatas pada
golongan pribumi, yang disebabkan karena diskriminasi ras dan etnik masih
sangat ketat.
Dengan
pemukiman (wijk) Eropa secara fisik menunjukkan perbedaan yang mencolok dengan
kampong atau pecinan, lagi pula lokasinya lebih banyak diperiveri kota, dimana
lingkungan belum terkenal polusi kota. Bangunan rumah pada umumnya termasuk
tipe fila, yang oleh rakyat disebut loji atau loge. Tata ruang disesuaikan
dengan iklim panas, ruangan-ruangan berdinding tinggi, dan pintu serta
candela-cendela besar-besar dan tinggi. Keteduhan dijaga dengan adanya halaman
dan kebun disekitar gedung. Daerah ini dihuni eksklusif bangsa Eropa dan
apabila terdapat penghuni pribumi, maka hal itu merupakan kekecualian dan
mereka lazimnya termasuk kelas atas. Kebersihan kota dijaga ketat sehingga
menambah keindahan wilayah.
2.3.3 Budaya Dalam Segi Pendidikan
Budaya pendidikanpun juga terjadi di masa pergerakan nasional, pendidikan
sedikit di beda-bedakan. Sekolah untuk anak pribumi berbeda dengan anak
bangsawan. Jadi, sebagian masyarakat
yang tersebar di seluruh Indonesia
sebagian masih berkebudayaan Indonesia tepatnya di daerah-daerah
pedalaman, dan sebagian lagi masih menggunakan kebudayaan barat yaitu di
daerah-daerah kota. Budaya di pulau Jawa dengan di luar pulau Jawa juga sedikit
berbeda. Pulau Jawa merupakan tempat penjajah memperluas wilayahnya, jadi
sebagian penduduk pulau Jawa masih dipengaruhi oleh kebudayaan barat, khususnya
kebudayaan para penjajah.
2.3.4 Budaya Dalam Segi Berpakaian
Perkembangan
gaya berpakaian di kalangan masyarakat Indonesia pada masa pergerakan menimbulkan pengaruh yang cukup besar bagi
kehidupan masyarakat. Tidak hanya golongan priyayi tetapi juga bagi kaum elit
baru yang menginginkan perubahan dan persamaan hak dalam berbagai hal kehidupan
terutama kehidupan bergaya Eropa yang bebas dan tanpa aturan tradisional dalam
melakukan aktivitasnya. Selain itu juga, pendobrakan terhadap diskriminasi yang
diciptakan oleh pemerintah kolonial Belanda dan Kraton melalui budaya politik
pakaian yang telah dilakukan sejak jaman VOC hingga politik Etis dilaksanakan.
Kaum pergerakan melakukan perlawanan terhadap diskriminasi ini.
Pakaian
sejak lama telah menjadi bentuk pembeda dari bermacam-macam golongan masyarakat
di berbagai belahan dunia. Pakaian menjadi simbol strukturasi dan pembagian
kelas dalam masyarakat. Masyarakat dapat dilihat secara jelas melalui cara berpakaian,
bahan pakaian serta mode pakaian yang digunakan, berasal dari kelas mana
individu itu berada. Pakaian menjadi simbol kekayaan dalam pembagian struktur
masyarakat.
Sebelum
Belanda (VOC) datang ke Indonesia dan membangun koloninya di berbagai daerah di
Jawa, pakaian di dominasi oleh pengaruh budaya Islam dan tentunya Jawa sebagai
budaya lokal. Dengan kedatangan bangsa Belanda, kompetisi dalam bidang “mode”
menjadi tiga pihak. Pada masa VOC pakaian Belanda merupakan penanda yang jelas
tentang kebudayaan dan agama para tuan tanah asing. Pada awalnya Belanda ingin
mempertahankan pakaian Eropa untuk diri mereka sendiri. Orang-orang Indonesia
yang diperbolehkan memakai pakaian gaya Eropa di daerah-daerah yang
dikendalikan oleh VOC adalah penganut Kristiani. Pelengkap khas pakaian bagi
Kristiani non-Eropa terdiri atas topi gaya Eropa, kaus kaki dan sepatu.
Pelengkap-pelengkap berpakaian ini tampaknya menjadi simbol yang menunjukkan
bahwa seseorang berasal dari suatu kelas masyarakat yang telah menjembatani
jarak antara para tuan tanah Belanda dan penduduk pribumi. Kadang-kadang mereka
bahkan menjadi tanda peralihan dari perbudakan ke kebebasan. Di Hindia
pakaian-pakaian Eropa ini merupakan bagian dari pakaian para Madijker,
budak-budak bebas dari Afrika atau tempat-tempat lain di Nusantara dan
keturunan-keturunannya.
Topi,
celana, dan, hingga taraf yang lebih sempit, yakni sepatu, berfungsi untuk
membedakan orang-orang ini dari orang-orang Indonesia lainnya di Batavia, yang
diwajibkan untuk setia pada pakaian tradisional dan tutup kepala mereka.
Orang-orang Indonesia non-Kristiani tidak diperbolehkan berpakaian seperti
orang Eropa. Mereka diperintahkan, setidaknya selama mereka tinggal di Batavia,
untuk tetap mengenakan pakaian daerah atau pakaian “nasional” mereka. Beberapa
kali peraturan yang sama di ulang bahwa masing-masing kelompok etnis memiliki
tempat tinggal tersendiri di Batavia dan bahwa para anggotanya tidak boleh
memakai pakaian adat kelompok etnik Indonesia lain mana pun.
Pemakaian
pakaian gaya Eropa walaupun di kalangan masyarakat umum tidak diperbolehkan
tetapi hal ini tidak berlaku bagi para penguasa-penguasa di Jawa terutama
Surakarta. Raja, pangeran, hingga para Bupati telah mengadopsi gaya berpakaian
gaya Eropa dengan jas model terbuka dan pentalon gaya militer Eropa. Hal ini
banyak diungkapkan dalam Babad Tanah Jawa, cara berpakaian
gaya Eropa telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari beberapa kostum yang
dipakai di Jawa. Pakaian-pakaian Eropa ini dikenakan untuk peristiwa-peristiwa
publik. Pada upacara-upacara istana mereka tetap menggunakan kebudayaan Jawa.
Meskipun mengadopsi elemen-elemen kebudayaan Barat dan Muslim tertentu, istana
tidak pernah mengabaikan peran mereka sebagai penjaga kebudayaan Jawa.
Kalangan
elit kerajaan di Surakarta contohnya penuh dengan peraturan dan larangan dalam
pemakaian kostum masyarakat . Ada aturan tentang pakaian yang harus dikenakan
oleh raja, sentana, abdi dalem, dan rakyat biasa. Raja adalah puncak keindahan,
kemahalan, dan kemewahan. Koran lokal Darmo Konda memberitakan apa yang dipakai
oleh raja waktu bertahta di Bangsal Pangrawit Pagelaran dalam upacara pemberian
payung Srinugraha sebanyak lima belas macam, mulai dari atas berupa mahkota
kanigara (kuluk)
intan sampai sepatu neledu hitam dengan kaos kaki biru tua. Aturan-aturan
pemakaian busana yang dikeluarkan oleh Kasunanan terutama diperuntukan bagi
abdi dalem kerajaan dalam rangka hirarki dalam kerajaan. Hal ini terlihat dalam
audiensi raja dengan abdi dalem, hari penobatan raja, hari lahir raja, baik
sipil (wedono,
kliwon, penewu, mantri) maupun militer (colonel, letnan colonel, major, kapitein,
opsir, kader, onder-opsir, onder adjuntant) memakai pakaian yang
berbeda sesuai dengan pangkatnya.
Memasuki abad
ke-20 ketika dunia modern dan semangat liberalisasi sepenuhnya hadir ke dalam
alam masyarakat Indonesia, masalah busana menjadi bagian terpenting dari
perdebatan-perdebatan tentang kebudayaan. Semakin banyaknya masayarakat Jawa
yang menginginkan pemakaian busana bergaya Eropa terbendung oleh larangan-larangan
yang dimunculkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Larangan-larangan ini
sebagai bagian upaya pihak pemerintah kolonial dalam menjalankan politik
diskriminasi rasialnya dalam rangka menegaskan perbedaan kelas atau status
sosial antara golongan penguasa dengan golongan yang dikuasai.
Pemakaian
busana terutama busana Eropa bagi penduduk pribumi hingga awal abad ke-20 masih
dilarang oleh pemerintah kolonial Belanda. Pemerintah kolonial Belanda masih
menginginkan masyarakat berbagai etnis tetap terus memakai kostum identitas
“nasional” mereka. Tetapi sesuai perkembangan jaman kemajuan masuknya ide-ide
liberalisasi, nasionalisme melalui pendidikan gaya Barat perlahan dan pasti
pelarangan-pelarangan pemakaian busana gaya Eropa oleh masyarakat pribumi
terkikis habis. Masyarakat kota Solo mulai memakai pakaian gaya Eropa sebagai
simbol jaman kemajuan.
Perkembangan
modernisasi kota juga diikuti dengan perkembangan kesadaran bagi kaum elit
pribumi dengan membentuk organisasi-organisasi pergerakan nasional. Dengan
organisasi ini, tuntutan akan kesetaraan keras dibunyikan dan ditujukan
terhadap pemerintah kolonial Belanda. Mas Marco Kartodikromo salah satu anggota
Sarekat Islam Solo dengan lantang menyuarakan protesnya terhadap larangan
berpakaian Eropa dan bersikap kebarat-baratan. Seperti diungkapkannya dalam Doenia
Bergerak, sebuah surat kabar milik Inlandsche Journalisten Bond Solo:
“Toean
Marco
Redacteur
Doenia Bergerak di Solo
Seringkali
kami membatja dalam roeangan Doenia Bergerak bahwa roepa-roepanja Toean-toean
pembatja bangsa boemipoetra banjak jang dapat rintangan dari chef-chefnja
lantaran berpakaian tjara Eropa.”.
Diskriminasi
ini banyak ditentang oleh banyak kalangan kaum pergerakan nasional walaupun
terdapat juga perdebatan-perdebatan mengenai baik dan buruknya menggunakan
pakaian bergaya Eropa. Bagi pria, pakaian Eropa, termasuk dasi yang ditakuti,
menjadi mode. Alasan bagi hal ini dapat segera ditemukan dalam gagasan yang
kemudian muncul bahwa pendidikan dan ilmu pengetahuan Barat merupakan kunci
menuju kemajuan. Modernitas dan kemajuan harus diinginkan bukan ditolak.
Berpakaian gaya Eropa menjadi suatu indikasi bahwa seseorang mendukung
perkembangan ide-ide progresif. Ini menunjukkan bahwa seseorang menjadi bagian
dari suatu gerakan modern baru bukan saja untuk menuntut kebebasan politikyang
lebih besar dari Belanda, melainkan juga memprotes tata krama dan etiket kaum
elit masyarakatnya sendiri.
Dalam
sebuah biogafi tentang Tirto Adhisoerjo, Pramoedya Ananta Toer mendeskripsikan
bagaimana para pelajar STOVIA, Sekolah Pelatihan Dokter-Dokter Pribumi, pada
akhir abad kesembilan belas masih diwajibkan memakai kostum tradisional mereka
yang terdiri dari pakaian gaya Jawa dengan kain batik sebagai bawahan. Memasuki
abad ke-20 semua berubah ketika para pelajar STOVIA memakai pakaian jas putih
dengan celana panjang putih serta berdasi dan benar-benar necis.
Berpakaian
gaya Eropa, atau Belanda, merupakan tanda emansipasi dan tentangan terhadap
Belanda beserta aturan-aturan berpakaian yang ingin mereka paksakan. Tidak
semua orang setuju dengan kecenderungan baru mengadopsi pakaian modern, bahkan
tidak dalam gerakan nasionalis, karena ini menyerahkan identitas diri sendiri
kepada bangsa lain, meniru gaya hidup tuan tanah asing. R.M. Soetatmo
Soeriokoesoemo menghimbau para nasionalis untuk kembali pada pakaian
tradisional, ia berdalih bahwa orang Jawa memakai pakaian Eropa hanya akan
diperlakukan lebih baik oleh orang Belanda dan menghindari cemoohan. Pria-pria
Belanda hanya menghormati celana panjang dan bersikap sedikit lebih baik
terhadap orang Jawa yang memakai celana panjang daripada terhadap
saudara-saudara mereka yang masih memakai sarung.
Belanda
bukan satu-satunya yang telah melakukan kejahatan dalam memaksa bangsa
Indonesia untuk memilih pakaian Barat dan bersikap diskriminatif terhadap orang
Indonesia yang berpakaian gaya Barat dibandingkan mereka yang memilih setia
berpakaian tradisional. Orang-orang Indonesia juga bersalah atas perilaku yang
sama. Dalam Kaoem Moeda 25 September 1917,
Keok, seorang penulis tetap di surat kabar tersebut, mengisahkan bagaimana ia
diperlakukan dengan tidak menyenangkan di gedung bioskop ketika memesan minuman
dan makanan. Ketika dating dengan berpakaian “pribumi”, ia meminta segelas air
jeruk kepada pelayan. Akan tetapi, si pelayan mengatakan bahwa dia terlalu
sibuk dan melanjutkan melayani orang-orang Eropa. Ketika Keok mengunjungi
gedung bioskop itu untuk kedua kalinya, kini dengan berpakaian Eropa, ia
langsung dilayani. Ketika ia bertanya mengapa dulu ia tidak dilayani, si
pelayan menjawab, hampir memberi kesan bahwa dengan mengganti pakaian maka
seseorang juga berganti ras, bahwa dia menyangka Keok orang Jawa. Dengan
memakai pakaian Barat, Keok telah memasuki alam Eropa, ia menjadi tidak dapat
dibedakan apakah ia orang Eropa asli atau Indo-Eropa, yang menurut hukum –namun
tidak selalu secara sosial– memiliki status yang sama.
Namun
demikian, di dalam komunitas Islam yang sangat taat, kaum Muslim menjadi cemas
tentang pemakaian celana, dasi dan gaya-gaya rambut baru. Keraguan juga muncul
mengenai celana pendek yang dipakai oleh pramuka, yang memperlihatkan lutut,
karena hukum Islam mengharuskan tubuh seseorang pria tertutup dari pusar hingga
lutut. Dalam surat kabar Islam Bergerak yang dikaitkan
dengan gerakan Islam berhaluan komunis, Haji Misbach seorang anggota Sarekat
Islam Solo dan pemimpin redaksi Islam Bergerak berpakaian gaya
Barat serba putih yang mengingatkan masyarakat pada pria Belanda. Pakaian
modern tentu saja tidak ditolak, bahkan disokong. Tekanan diletakkan pada
kenyataan bahwa Islam tidak melarang pemakaian jas ataupun dasi, tidak pula
melarang pengguntingan rambut menurut gaya Barat.
Nasionalisme
hanya setengahnya saja diterjemahkan ke dalam pakaian. Simbol nasionalisme
tidak tertanam pada tipe pakaian khusus, tetapi pada tutup kepala yang disebut
peci. Sukarno menyebut peci sebagai “ciri khas saya…simbol nasionalisme kami”.
Menurutnya, pertentangan antara elit berorientasi Barat yang baru, muda, serta
agak egois, dan ideal-ideal tentang suatu barisan nasionalis yang menaruh
perhatian utama pada keadaan rakyat, memainkan peran utama dalam mengangkat
peci sebagai simbol nasionalisme. Sukarno menceritakan bahwa ia sendirilah yang
menganugerahi peci dengan arti khusus. Ide tersebut diluncurkan pada suatu pertemuan
Jong Java di Surabaya sebelum ia berangkat ke Bandung pada Juni 1921. Ketika
itu ia masih sedih karena “diskusi panas antara pihak yang disebut cendikiawa,
yang membenci kain penutup kepala yang dipakai oleh para pria Jawa sebagai
pasangan sarung mereka, serta pitji yang dipakai para pengemudi betjak
dan rakyat biasa lainnya. Ia memutuskan bahwa memakai peci merupakan cara untuk
menunjukkan solidaritasnya kepada rakyat biasa setelah melihat “rekan-rekan
senegaranya yang congkak berbaris melintas di jalan dengan kepala rapi tanpa
mengenakan tutup kepala. Dalam pertemuan Jong Java Sukarno berkata tentang peci
hitam:
“Kita
memerlukan sebuah simbol bagi kepribadian Indonesia. Topi jenis ini, sama
dengan yang dipakai oleh para pekerja biasa bangsa Melayu, asli untuk rakyat
kita… Marilah kita menegakkan kepala tinggi-tinggi mengemban topi sebagai
simbol Indonesia Merdeka”.
Benarlah
kiranya bahwa pakaian mampu mengubah sebuah status seseorang yang memakainya
walaupun secara mendalam tidak demikian. Pakaian juga dapat dipakai sebagai
identitas nasionalisme dengan meniru apa yang dipakai oleh rakyat kecil tetapi
pada umumnya pakaian gaya Eropa pada awal abad ke-20 diyakini oleh masyarakat
elit Surakarta merupakan sebuah pintu gerbang modernitas.
2.3.5 Budaya Dari Segi Gaya Hidup
Perubahan
penggunaan pakaian dari tradisional kepada penggunaan pakaian gaya Eropa bagi
kalangan masyarakat Surakarta pada awal abad ke-20 secara tidak langsung
mengubah gaya hidup. Berpakaian gaya Eropa menunjukkan sebuah kemajuan, modernitas
bagi seseorang yang memakainya. Ia memiliki status sosial yang tinggi karena
dapat mengikuti gaya hidup bangsa Eropa. Terlebih kota Surakarta telah menjadi
kota kosmopolitan pada pada awal abad ke-20 dengan tumbuhnya pembangunan
pusat-pusat hiburan maupun pusat gaya hidup baru kaum modern.
Pengaruh
gaya hidup Eropa yang ditiru oleh kaum pribumi tidak terlepas dari masyarakat
kulit putih Eropa yang bermukim di kota Surakarta dengan membawa bentuk-bentuk
kesenian kota, hiburan serta berbagai macam bentuk rekreasi yang bersifat
modern. Bentuk-bentuk kesenian, hiburan atau rekreasi baru yang dibawa itu
berhasil menjadi kecenderungan baru yang juga digemari dan disukai oleh
masyarakat pribumi, terutama golongan menengah ke atas. Siklus kehidupan
sehari-hari yang telah berubah karena disiplin waktu yang dituntut dalam
pekerjaan-pekerjaan modern di kota-kota besar, ikut memicu terbentuknya minat
yang baru terhadap bentuk-bentuk seni hiburan ataupun rekreasi yang sesuai
kelonggaran waktu masyarakat perkotaan. Maka bentuk-bentuk kesenian atau
hiburan agraris tradisional yang banyak menyita waktu dalam menikmatinya
seperti wayang kulit, ketoprak, tari-tari klasik tradisional mulai mendapat
pesaing baru yaitu kesenian atau hiburan modern kota yang bersifat popular,
komersial dan dipertunjukkan dengan waktu singkat seperti film bioskop, musik
modern, opera, sirkus, dan sebagainya.
Ikatan-ikatan
baru yang bersifat asosional di kalangan masyarakat elit kota-kota besar,
melahirkan suatu bentuk organisasi social yang bersifat rekreatif dan informal
yang menjadi mode jaman itu yaitu Societeit atau Soos.
Societeit
merupakan pusat pertemuan yang bersifat informal bagi kalangan elit Eropa atau
elit pribumi yang banyak dimanfaatkan sebagai forum menjalin lobby, forum
komunikasi, tempat rekreasi (pesta dansa atau minum-minuman keras) serta
menikmati kesenian atau hiburan modern yang bersifat elistis dan eksklusif.
Dalam societeit
ini sering diselenggarakan pagelaran konser-konser musik klasik Barat, baik
yang dimainkan oleh kelompok-kelompok simponi Eropa maupun korps musik keraton
Surakarta.
Di Societeit
Harmonie yang merupakan klub terbesar di Surakarta pada tanggal 4
Januari 1908 diselenggarakan konser dari Korps Musik Kepatihan dengan
repertoire-repertoir komposisi musik klasik Barat. Pengunjung diberi kesempatan
untuk berdansa dengan irama musik Waltz. Kaum elit Eropa yang tinggal di Jawa
khususnya kota Surakarta beserta keluarganya biasanya terdiri dari golongan
terpelajar dan para profesional seperti dokter, insinyur, sarjana hukum,
ilmuwan, administrator, ekonom dan lain sebagainya. Tingkat pendidikan dan
penghasilan yang tinggi memungkinkan mereka mempunyai daya apresiasi yang
tinggi pula terhadap ekspresi kesenian ataupun hiburan yang dikonsumsinya.
Kalangan elit Eropa yang banyak mempengaruhi selera elit pribumi. Kemampuan
ekonomi golongan elit Eropa telah memungkinkan mereka untuk memindahkan suasana
lingkungan budaya borjuasi Eropa tempat asal mereka, ke dalam lingkungan baru
di tanah jajahan Jawa. Maka pada masa itu dibangunlah infrastruktur yang
mendukung kebutuhan hiburan seperti gedung teater, gedung opera, gedung
bioskop, dan klub-klub ekslusif seperti societeit dan gedung billiard
(kamar bola) dan juga hotel oleh pemerintah Hindia Belanda.
Sebuah
novel karya Mas Marco Kartodikromo yang berjudul Student Hidjo dengan jelas
menggambarkan bagaimana pengaruh gaya hidup Barat dilakukan oleh kaum pribumi.
Hidjo tokoh dalam novel tersebut mengajak kekasihnya, Raden Ajeng Biroe, untuk
pergi plesir
(bersenang-senang) ke Taman Sriwedari. Hidjo memakai pakaian jas
bukak, celana, dasi, dan sepatu baru sedangkan Raden Ajeng Biroe
mengenakan baju sutra kuning, kain yang bagus, subang berlian, selop
model baru dan tentunya berbicara dengan bahasa campuran antara bahasa Belanda
dan Melayu sebagai bentuk dari jaman modern.
Novel
ini juga menggambarkan bagaimana suasana di Taman Sriwedari yang gemerlap
dengan lampu-lampu listrik. Orang-orang yang akan memasuki pusat hiburan
tersebut harus membayar karcis terlebih dahulu. Orang-orang yang berada di
Taman Sriwedari sudah berkumpul sesuai selera masing-masing. Ada yang melihat
wayang orang, ada yang melihat bioscoop dan ada yang duduk-duduk
di restoran sambil omong-omongan satu dengan yang lain. Raden Ajeng Biroe
mengajak Hidjo untuk menonton salah satu pertunjukan, ia berkata:
“Djo,
mari melihat bioscoop atau wayang orang!” kata
raden Ajeng sambil tangannya memegang tangan Hidjo.
“Nee,
Lieve.” Kata Hidjo dengan suara yang tidak begitu keras… kita mencari restoran
dan mengobrol di situ!”
Dialog-dialog
tersebut menunjukkan bagaimana pakaian Eropa yang dipakai berkaitan erat dengan
gaya hidup, rekreasi, penggunaan bahasa Belanda, dan yang lebih memperjelas
adalah ketika bagian akhir dari novel ini menunjukkan bahwa akhirnya Hidjo,
Raden Ajeng Biroe, dan pasangan masing-masing merayakan berkumpulnya mereka di
sebuah taman di Solo, kota Kerajaan kuno di Jawa. Mereka berkeliling dengan
mobil, mengklakson, minum lemonade dan menonton kongres
bersejarah Sarekat Islam.
Gaya
hidup modern Barat juga banyak dilakukan oleh priyayi-priyayi Surakarta yang
memiliki gedung societeit sendiri yaitu Gedung
Abipraya. Gedung Abipraya merupakan pusat budaya priyayi, selain tempat
pertemuan, gedung ini juga dipakai sebagai tempat pelelangan. Keluarga orang
yang meninggal atau mereka yang akan berpindah tempat yang kebanyakan orang
Belanda bias menjual harta mereka kepada umum melalui gedung Abipraya, dalam
sebuah pelelangan umum yang dipimpin oleh seorang vendumeester Belanda. Gedung ini
juga tempat di mana musik Barat dan gamelan Jawa dimainkan. Pada saat
pergelaran para priyayi diharuskan berpakaian resmi, yaitu baju sikepan,
bebed,
dan kuluk.
Dalam peristiwa-peristiwa penghormatan terhadap raja yang diselenggarakan di
gedung Abipraya selalu diikuti dengan pesta-pesta dengan tarian tayuban,
minuman alkohol, musik orkestra, dan sebagai kelompok yang paling beruntung
dalam masyarakat Surakarta, priyayi tentunya mampu mengkonsumsi berbagai hal
yang disediakan oleh budaya kota yang berkembang itu, misalnya makanan mewah,
bioskop, komidi stambul, sirkus, cerutu, dan lain-lain.
Gaya
hidup lain yang menjadi keasyikan para priyayi terutama raja adalah olahraga
berburu. Dengan adanya kebebasan pemilikan senjata api modern (tidak perlu ijin
khusus) sehingga senjata api dijual di pasaran umum, maka kegiatan berburu di
kalangan elit Eropa dan tentunya para priyayi semakin marak. Begitu
bergengsinya olahraga berburu dengan senapan modern ini, sehingga Susuhunan
Paku Buwana X seringkali melakukan berburu dengan membawa iringan yang besar
dan megah, dan dengan mengenakan kostum model tentara kavaleri Belanda lengkap
dengan topi panamanya.
Hal lain
adalah dengan adanya pembagian waktu dan kondisi dalam berpakaian maka gaya
hidup masyarakat Surakarta diperkenalkan dengan acara jamuan makan malam yang
mewah lengkap dengan penggunaan peralatan makan sendok, garpu, dan pisau.
Jamuan makan malam ini biasanya dilakukan oleh istana kerajaan Kasunanan maupun
Mangkunegaran dalam menyambut pajabat-pejabat penting pemerintah Hindia Belanda
maupun sebaliknya ketika para pejabat pemerintah Hindia Belanda menyambut
kunjungan para raja Surakarta. Seperti halnya jamuan makan malam yang dilakukan
oleh istana Mangkunegaran untuk menghormati kedatangan Gubernur Jendral M.B.
van der Jagt tahun 1930.
Gaya
hidup priyayi yang penuh dengan hedonisme menimbulkan dampak buruk dengan timbulnya
kejahatan-kejahatan yang dilakukan priyayi, misalnya mengadu jago, berjudi,
walau pemerintah Surakarta telah melarang semua itu bagi priyayi. Kritikan
mengenai tingkah laku yang buruk dari priyayi datang dari berbagai pihak. Mas
Marco Kartodikromo melalui surat kabar Doenia Bergerak mengkritik tingkah
laku ini.
“He’
toean-toean: boekankah telah oemoem segala bangsa apa sadja, baek jang kaja,
baik jang miskin, hal berjoedi itoe dianggap kesenangan jang loemrah…
Tapi kan
sering dengar, baek membatja di soerat kabar, baik dari kabar orang, banjak
joega bangsa kapitalisten jang jatoeh miskin lantaran diserang penjakit
berjordi itoe.”
Dalam
majalah Pemimpin
sebuah majalah milik Perserikatan Prijaji Binnenlandsche Bestuur
juga mengharapkan agar tingkah laku para priyayi menjaga perilaku yang baik
agar rakyat tetap mendukung mereka. Alam kebudayaan modern yang penuh dengan
persaingan dalam berbagai hal diharapkan tidak membuat para priyayi bestuursambtenaar
bumiputra tidak mabuk jabatan dan kekuasaan dan harus tetap memperhatikan
rakyat.
Pengaruh-pengaruh
Eropa dalam gaya hidup telah membawa masyarakat kota Surakarta mengalihkan
perhatian tentang rekreasi yang tadinya bersifat mistik dengan pagelaran
wayang, tarian sakral, pada awal abad ke-20 beralih kepada rekreasi yang
bersifat modern, populer yang menumbuhkan simbol dan status baru sebagai
manusia modern. Manusia modern dalam pikiran masyarakat Surakarta awal abad
ke-20 adalah sesorang dengan pakaian gaya Eropa, terlibat dalam klub-klub
rekreasi, bergaya hidup Eropa dan tentunya hal ini adalah sebuah hal yang
dituju oleh masyarakat pada saat itu. Begitu besarnya pengaruh perkembangan
pakaian di kota Surakarta sehingga mampu mempengaruhi gaya hidup masyarakat
Surakarta pada awal abad ke-20.
DAFTAR
PUSTAKA
Kartodirjo, Sartono, 1990, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah
Pergerakan Nasional Dari Kolonialisme sampai Nasionalisme Jilid 2, Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama
Hajati, Dra. Chusnul, dkk, 1997, Sejarah Indonesia, Jakarta: Universitas Terbuka
Poesponegoro,
Marwati Djoened. Notosusanto, Nugroho, 2008, Sejarah Nasional Indonesia V, Jakarta: Balai Pustaka
http://rumuspelajar.blogspot.com/2010/03/zaman-pergerakan-nasional.html
http://phesolo.wordpress.com/2012/05/12/pakaian-politik-dan-gaya-hidup-masyarakat-surakarta-masa-kolonial/
Langganan:
Postingan (Atom)