Minggu, 14 Desember 2014

Filsafat Sejarah Arnold J. Toynbee



2.1 Filsafat Sejarah Spekulatif
     Filsafat sejarah spekulatif (the speculative philosophy of history), yaitu kajian seputar dua makna kata sejarah, yaitu pertama sebagai proses historis; dan kedua sebagai penulisan proses historis menurut kaidah-kaidah ilmu sejarah. Demikian pula, tampak jelas Toynbee dalam pembuktian historis dan penerimaannya yang sungguh-sungguh atas pengkajian berbagai kebudayaan selalu berusaha memakai metode eksperimental yang didasarkan pada pengamatan guna mengetahui faktor-aktor yang menyebabkan tumbuh dan runtuhnya kebudayaan.
     Metode ini merefleksikan aliran eksperimental yang terkenal dalam filsafat Inggris modern pada umumnya. Di antara hasil kajian ini adalah sejumlah karya dalam sejarah kebudayaan, misalnya A study of History karya Tyonbee, yang terdiri atas dua belas jilid.
     Tyonbee hampir sependapat dengan Spenglermengenai konsepsi kesatuan kajian historis dari segi bahwa ia merupakan suatu masyarakat yang terdiri atas bebagai kelompok yang memiliki karakteristik kultural khusus, tanpa memandang bentuk nasional tempat mereka berafiliasi atau sistem internasional yang mereka ikuti, yaitu suatu sistem yang pada hakikatnya didasarkan pada kondisi-kondisi dominasi Barat atas berbagai tipe sistem politik yang berkembang pada zaman modern. Ini berarti bahwa kesatuan historis, menurutnya, sebagaimana menurut Spengler, bukanlah umat manusia seluruhnya atau kawasan-kawasan politik ataupun kesatuan-kesatuan nasional. Ia merupakan sejumlah kelompok manusia yang disebut dengan masyarakat kultural atau kesatuan kajian historis sesuai dengan karakteristik bersamanya.
     Tyonbee berpendapat bahwa pola-pola kebudayaan yang dikajinya-jumlahnya ada delapan- tidak cukup bisa mengantarkan seseorang pada kesimpulan-kesimpulan ilmiah yang benar. Oleh karena itu, Tyonbee berupaya mengkaji lima masyarakat yang ada masa kini, yaitu masyarakat Kristen Barat, masyarakat Kristen Timur (Byzantium), masyarakat India, masyarakat Timur Jauh, dan masyarakat Islam. Di samping itu, ia juga mengkaji sempalan-sempalan masyarakat yang sudah mati yang tidak jelas kepribadiannya, misalnya saja kaum Yahudi.
     Menurut Tyonbee, semua masyarakat tumbuh dari masyarakat sebelumnya, yang menurutnya terdiri atas dua puluh satu masyarakat. Dengan adanya pembagian demikian, gugurlah kesatuan kebudayaan yang diserukan para sejarawan Barat sebelum Tyonbee, yang terpengaruh oleh lingkungan sosial mereka dan keberhasilan kebudayaan Barat secara internasional di bidang politik dan ekonomi, sehingga membuat banyak sejarawan terbuai oleh keserupaan yang menyesatkan di antara berbagai kebudayaan yang sebenarnya tidak sesuai dengan corak kultural asli dari segi substansi umum kebudayaan tersebut.
     Keberhasilan lahiriah itu, terutama karena tersebar luasnya sistem-sistempolitik dan ekonomi Barat dalam banyak masyarakt, menimbulkan suatu ide yang keliru, yaitu ide kesatuan kebudayaan manusia. Menurut ide ini, sejarah manusia mempunyai satu sumber yaitu Barat, sedangkan yang lainnya adalah cabangnya. Menurut Tyonbee, ide yang mendominasi pemikiran banyak sejarawan Barat itu ditegakkan di atas tiga ilusi,yaitu cinta diriyang mendominasi orang-orang Barat, ide Timur yang mandek, dan pendapat tentang kemajuan sebagai gerak yang membentuk suatu garis yang selalu lurus. Dari sini, Tyonbee menarik kesimpulan tentang perlu dilakukannya penilaian objektif atas semua kebudayaan tanpa penggunggulan khusus terhadap kebudayaan Barat, karena kebudayaan Barat bukanlah merupakan poros kebudayaan-kebudayaan seperti menurut banyak sejarawan Barat.
2.2 Riwayat Hidup Arnold J. Toynbee
     Arnold J. Toynbee lahir pada 14 April 1889 di London. Arnold Joseph Toynbee adalah anak dari Henry Valpy Toynbee, seorang pengimpor teh yang beralih menjadi pekerja sosial, dan Sarah Edith Marshall, sarjana unofficial di bidang sejarah dari Universitas Cambridge. Semasa kecil, Toynbee dididik oleh ibunya dan seorang guru privat perempuan. Kemudian dia meneruskan ke Wotton Court di Kent dan Winchester College. Dia cemerlang dalam studinya, dan mendapatkan beasiswa untuk disiplin sastra Yunani dan Romawi Kuno ke Balliol College, Oxford. Ketika menggeluti sastra Yunani dan Romawi kuno.
Toynbee merupakan penulis besar, menghasilkan karya yang tidak terhitung jumlahnya tentang agama, sejarah kuno dan modern, peristiwa kontemporer, dan hakekat sejarah.
     Setelah menamatkan studinya pada tahun 1912, Toynbee menjelajahi situs-situs sejarah di Yunani dan Itali. Ia mempunyai harapan mampu membantu murid-muridnya 'mengenal keragaman kehidupan dan peradaban', tak seorang pun dari mereka mampu memenuhi harapan sang guru. Dia kemudian mengalihkan energinya untuk melakukan sesuatu yang kemudian menjadi pekerjaan seumur hidupnya yaitu menulis. Toynbee mulai menulis sebuah buku tentang sejarah Yunani dari masa prasejarah sampai masa Bizantium, namun sebelum buku tersebut selesai dia terganggu oleh peristiwa yang terjadi di masanya, seperti Perang Balkan pada 1912 dan 1913. Ia juga pernah ditugasi oleh British (kini Royal) Institute for International Affairs untuk menulis sebuah buku hasil riset lama dan mendalam tentang paeristiwa-peristiwa penting yang terjadi sejak Perjanjian Versailles. Buku tersebut, Surveys of International Affairs 1920-1923 (1925), menjadi buku hasil survey mendalam pertama yang dia hasilkan sampai dia pensiun pada tahun 1953.
Tiap tahun, Toynbee berusaha mengabadikan banyak informasi (kebanyakan dari surat kabar) lewat catatan-catatan tentang peristiwa kontemporer di seluruh dunia.
     Toynbee juga mulai mengumpulkan bahan-bahan buat karyanya yang kemudian terkenal: A Study of History  (12 Jilid, 1934-1961). Keilmuan sejarah kontemporer, menurut Toynbee, kurang sempurna sebab para sejarawan Eropasentris, meniru saintis, dan melakukan riset tentang topik-topik kecil yang sepele. Menurut Toynbee, yang gagal mereka mengerti adalah bahwa alam semesta menjadi bisa dipahami sejauh kia memahaminya sebagai sebuah kesatuan. Dalam semangat itu, Toynbee bermaksud mempelajari seluruh peradaban yang dikenal, yang masih ada maupun yang sudah punah. Dalam sejumlah besar detail sejarah, menurutnya, sebuah pola bisa diungkap dan diketahui.
2.3 Tafsiran Arnold J. Tyonbee
     Arnold J. Tyonbee mengarang buku A Study of History tahun 1933. Teori Tyonbee didasarkan atas penelitian terhadap 21 kebudayaan yang sempurna dan 9 kebudayaan yang kurang sempurna. Kebudayaan yang sempurna, antara lain: Yunani, Romawi, Maya, Hindu, Barat/Eropa, dan yang kurang sempurna, antara lain: Eskimo, Sparta, Polinesia, Turki. Menurut Tyonbee bahwa gerak sejarah tidak memiliki hukum tertentu yang menguasai dan mengatur timbul tenggelamnya kebudayaan-kebudayaan dengan pasti.
     Kebudayaan (civilization) menurut Tyonbee adalah wujud kehidupan golongan seluruhnya. Menurutnya, gerak sejarah berjalan menurut tingkatan-tingkatan berikut:
1.      Genesis of civilizations, yaitu lahirnya kebudayaan;
2.      Growth of civilizations, yaitu perkembangan kebudayaan;
3.      Decline of civilizations, yaitu keruntuhan kebudayaan;
4.      Breakdown of civilizations, yaitu kemerosotan kebudayaan;
5.      Disintegration of civilizations, yaitu kehancuran kebudayaan;
6.      Dissolution of civilizations, yaitu hilang dan lenyapnya kebudayaan.
Suatu kebudayaan terjadi karena challenge and response (tantangan dan jawaban antara manusia dan alam sekitarnya). Dalam alam yang baik, manusia berusaha untuk mendirikan suatu kebudayaan, seperti di Eropa, India, Tiongkok. Di daerah yang terlalu dingin, seolah-olah manusia membeku (Eskimo), di daerah yang terlalu panas, tidak dapat timbul suatu kebudayaan ( Sahara, Kalahari, Gobi). Apabila tantangan alam itu baik, timbullah suatu kebudayaan.
Pertumbuhan dan perkembangan suatu kebudayaan digerakkan oleh sebagian kecil dari pemilik kebudayaan. Jumlah kecil itu menciptakan kebudayaan dan jumlah yang banyak (mayoritas) meniru kebudayaan tersebut. Tanpa minoritas yang kuat dan dapat mencipta, suatu kebudayaan tidak dapat berkembang.
Apabila minoritas lemah dan kehilangan daya mencipta, tantangan dari alam tidak dapat dijawab lagi. Apabila minoritas menyerah, mundur, pertumbuhan kebudayaan (decline) mulai tampak. Keruntuhan itu terjadi dalam tiga masa, yaitu sebagai berikut:
1.      Kemerosotan kebudayaan
     Terjadi karena minoritas kehilangan daya mencipta serta kehilangan kewibawaannya, mayoritas tidak lagi bersedia mengikuti minoritas. Peraturan dalam kebudayaan (antara minoritas dan mayoritas) pecah dan tunas-tunas hidupnya suatu kebudayaan akan lenyap.
2.      Kehancuran kebudayaan
     Mulai tampak setelah tunas-tunas kehidupan itu mati dan pertumbuhan terhenti. Setelah pertumbuhan terhenti, seolah-olah daya hidup itu membeku dan terdapatlah suatu kebudayaan itu tanpa jiwa lagi. Tyonbee menyebut masa ini sebagai petrification, pembatuan atau kebudayaan itu sudah menjadi batu, mati, dan menjadi fosil.
3.      Lenyapnya kebudayaan
     Yaitu, apabila tubuh kebudayaan yang sudah membatu itu hancur lebur dan lenyap.
     Untuk menghindarkan keruntuhan suatu kebudayaan, hal yang mungkin dilakukan adalah mengganti norma-norma kebutuhan. Dengan pergantian itu, tujuan gerak sejarah adalah kehidupan ketuhanan atau kerajaan Allah menurut paham Protestan. Dengan demikian, garis besar teori Toynbee mirip dengan santo agustinus, yaitu akhir gerak sejarah adalah civitas dei atau kerajaan Tuhan



DAFTAR PUSTAKA
Hasbullah, Moeflih, M.A, Supriadi Dedi, M.Ag. 2012. Filsafat Sejarah. Bandung: Pustaka Setia
http://jejak sejarah  FILSAFAT SEJARAH ARNOLD J. TOYNBEE ( 1889-1975 ).html
http://WAEL HISTORIAN  PEMBAHASAN TEORI SPEKULATIF DAN KRITIS Oleh Raman.html
http://laramansumiyati.blogspot.com/2010/06/pembahasan-teori-spekulatif-dan-kritis.html
 

Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Budaya Bangsa Indonesia Pada Masa Pergerakan Nasional Indonesia



2.1  Kondisi Sosial Bangsa Indonesia Pada Masa Pergerakan Nasional
Pengertian pergerakan nasional secara menyeluruh yaitu suatu perjuangan yang dilakukan dengan organisasi-organisasi secara modern kearah perbaikan taraf hidup bangsa Indonesia yang disebabkan karena rasa tidak puas terhadap keaadaan masyarakat di bidang sosial, ekonomi, maupun budaya pada saat itu.
Pergerakan di Indonesia berawal dari abad ke-20 yaitu berkisar antara tahun 1900-1942. Awal abad ke-20 dalam sejarah Indonesia dikenal sebagai periode Kebangkitan Nasional. Pertumbuhan kesadaran yang menjiwai proses itu menurut bentuk manifestasinya telah melalui langkah-langkah yang wajar, yaitu mulai dari lahirnya ide emansipasi dan liberal dari status serba terbelakang, baik yang berakar pada tradisi maupun yang tercipta oleh situasi kolonial. Kondisi sosial bangsa Indonesia dapat dikelompokkan sebagai berikut:
2.1.1  Kondisi Sosial Dalam Bidang Pendidikan
Pendidikan pada masa Pergerakan Barat lebih didominasi oleh pendidikan barat. Sebagian besar golongan masyarakat bumiputera yang memperoleh pendidikan Barat. Pada tahun 1928, 45% golongan dari bumiputera yang setidaknya memperoleh pendidikan rendah pada sekolah-sekolah bergaya Barat, dipekerjakan sebagai pegawai-pegawai negeri. pendidikan Barat adalah karena dengan mengenyam pendidikan ini maka seseorang dapat mendapatkan prioritas untuk memperoleh posisi-posisi sebagai pengawasan dan pemegang kekuasaan. Maka tidak mengherankan, apabila  pendidikan Barat menjadi idam-idaman orang dan orang menghargai mereka yang berpendidikan Barat tanpa mengingat asal-usul mereka. Meskipun demikian, pada mulanya pendidikan Barat sangat terbatas, hanya tersedia bagi anak priyayi tinggi. Selain dari pada itu pengetahuan mengenai Bahasa Belanda di wajibkan dalam pendidikan Barat, sehingga pengetahuan itu lambat laun hampir identik dengan lambang status yang tinggi.
Dalam perkembangan selanjutnya, basis dari pendidikan Barat ini lebih diperluas lagi dan pada prinsipnya menjadi lebih terbuka, yang sebelumnya bersifat tertutup untuk kalangan masyarakat kolonial pada umumnya. Pendidikan Barat ini terbuka baik bagi mereka yang berbakat maupun berbangsa. Meskipun demikian, pada sasarannya pendidikan Barat ini masih dibatasi, oleh karena itu pada dasarnya pendidikan ini tidak sepenuhnya bersifat terbuka, dan relatif hanya segelintir masyarakat kolonial yang dapat mengirimkan anak-anaknya untuk memperoleh pendidikan pada sekolah–sekolah bergaya Barat.
Pada abad ke – 20, pemerintah kolonial Belanda berhasil memadamkan perlawanan bersenjata di berbagai tempat di Indonesia. Hal ini mengakibatkan Belanda memulai kekuasaanya di Indonesia secara politis. Karena hal itu, perlawanan bangsa Indonesia pun mengalami perubahan yang ditentukan oleh perkembangan pendidikan Indonesia. masalah pendidikan mendapat perhatian yang agak besar dari pemerintah kolonial. Hal itu juga berkaitan dengan dilaksanakannya politik etis. Tujuannya adalah untuk mendidik anak – anak Indonesia  agar dapat dipekerjakan sebagai pegawai rendahan dengan gaji kecil di instansi pemerintah atau perusahaan swasta. 
Setelah mereka dapat membaca berbagai macam buku, wawasan mereka bertambah luas. Mereka dapat mengetahui dan membandingkan perkembangan Barat serta ide – ide yang berkembang di Barat, seperti demokrasi dan hak rakyat dalam pemerintahan dengan keadaan Indonesia saat itu.
Seiring dengan kebutuhan tenaga terdidik & terampil, pemerintah kolonial menyelenggarakan pendidikan, yaitu sebagai berikut :
·       Europese Lagere School ( ELS ). Untuk anak keturunan  Eropa
·       Sekolah Kelas Dua ( Angka Loro ). Untuk anak pribumi kelas bawah
·       Sekolah Kelas Satu ( Angka Siji ). Untuk anak pribumi kelas atas
Dengan meningkatnya kebutuhan pegawai terdidik, pemerintah kolonial Belanda mengembangkan pendidikan untuk anak pribumi, yaitu sebagai berikut :
·       Anak pribumi kalangan bawah
Didirikan sekolah rakyat ( Volkschool ) yang berlangsung selama 3 tahun dengan penekanan pada kemampuan membaca, menulis, dan berhitung. Murid yang pandai memperoleh kesempatan belajar di sekolah lanjutan ( Vervolgschool ) selama dua tahun
·       Anak pribumi kalangan menengah
Didirikan sekolah dasar Hollands Inlandsche School ( HIS ). Menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Pendidikan berlangsung selama 7 tahun. Murid yang pandai dapat melanjutkan pendidikan ke sekolah lanjutan tingkat pertama / Meer Uitgebried Lagere Onderwijs ( MULO ) lalu ke sekolah tingkat atas / Algemene Middlebare School ( AMS ).
·      Anak pribumi kalangan atas
Setelah selesai HIS mereka dapat melanjutkan ke Hogere Burgerschool ( HBS ) selama 5 tahun. Selain sekolah umum, anak pribumi kalangan atas  juga dapat melanjutkan ke sekolah kejuruan, seperti sekolah guru ( Kweekschool ) dan sekolah pamong praja.
Sejak tahun 1920, pribumi dapat mengikuti pendidikan tinggi dalam negeri. Seperti bidang hukum Rechts Hoge School ( RHS ), bidang teknik Tecnische Hoge School ( THS ), dan bidang kedokteran sekolah Sekolah Tot Opleiding Voor Inlandsche Aartsen ( STOVIA ).
Selain sekolah dari pemerintah kolonial, muncul juga sekolah yang diselenggarakan oleh bangsa Indonesia sendiri yaitu Perguruan Kebangsaan yang terbuka bagi semua rakyat pribumi.  Karena sekolah dari pemerintah kolonial hanya untuk kaum bangsawan dan orang yang mampu dalam segi ekonomi.
2.1.2  Kondisi Sosial Dalam Perbedaan Ras
Selain dalam kondisi sosial pendidikan di Indonesia, kondisi sosial bangsa Indonesia pada awal abad ke – 20 juga menghadapi praktik  diskriminasi dari kolonial Belanda. Diskriminasi itu berdasarkan ras, golongan dalam masyarakat, dan suku bangsa.
Dalam diskriminasi ras, warna kulit seseorang menentukan statusnya. Bahkan diadakan pula perbedaan gaji antara serdadu pribumi yang berlainan suku. Dalam hal ini, suku Jawa paling disayangi pemerintah kolonial karena dianggap penurut. Belanda juga melakukan pembagian kelas sosial. Pembagian status sosial pada zaman kolonial Belanda ditetapkan dalam aturan ketatanegaraan Hindia Belanda ( Indische Staatsregeling ) tahun 1927 yang berisi :
·         Belanda kulit putih atau Eropa dan yang disamakan. Mereka terdiri atas bangsa Belanda dan bangsa Eropa lainnya, serta bangsa lain ( bukan Eropa ) yang telah disamakan dengan bangsa Eropa karena kekayaannya, keturunan bangsawan, dan orang yang berpendidikan.
·         Golongan timur asing. Terdiri atas orang Cina, Arab, India, dan Pakistan yang merupakan lapisan menengah.      
·         Golongan pribumi, yaitu bangsa Indonesia asli ( pribumi ) yang berada pada lapisan bawah.

Sedangkan pelapisan sosial dalam masyarakat pribumi yaitu sebagai berikut :
·         Lapisan Bawah
Rakyat jelata yang merupakan penduduk terbesar dan hidup melarat.
·         Lapisan Menengah                                                                                                      
Para pedagang kecil dan menengah, petani kaya dan pegawai.                   
·         Lapisan Atas
Keturunan bangsawan atau kerabat raja yang memerintah suatu daerah. Lapisan ini terbagi lagi dalam tingkatan dan gelar sesuai dengan kedekatan hubungan darah mereka dengan raja. Golongan itu disebut elite tradisional dan elite daerah.Selain itu, ada juga golongan elite agama. Mereka adalah para pemuka agama seperti ulama dan kiayi.

Dengan keadaan yang seperti ini, mengakibatkan kondisi sosial masyarakat Indonesia kurang terjalin dengan lancar. Kurangnya hubungan antara masyarakat, antar penjajah. Hal ini berakibat didaerah-daerah terjadi pemisahan hubungan antar manusia.
Diskriminasi berdasarkan ras hampir terjadi di seluruh sendi kehidupan sosial. Pembatasan-pembatasan jabatan yang tajam ditentukan atas dasar rasial dan mobilitasnya ke atas ditentukan batas-batasnya sampai pada tingkat-tingkat tertentu. Diskriminasi ras ini ditandai dengan kaum bumiputra yang berkutat pada jabatan-jabatan rendah dan pada lapisan atas yang tipis terdiri atas golongan Eropa. Perbedaan status ekonomi antara golongan kecil penduduk kulit putih dan masyarakat bumiputra di bagian yang paling bawah.
Selain itu, adanya pembatasan-pembatasan pergaulan sosial antara ras-ras. Tidak adanya kontak sosial dan adanya pemisahan-pemisahan fisik yang sangat mencolok. Masyarakat Jawa dengan keras dilarang memasuki perkumpulan-perkumpulan, lapangan-lapangan olahraga, sekolah-sekolah, tempat-tempat umum dan daerah tempat dimana kediaman bangsa Belanda. Bentuk lahiriah wilayah Indonesia pada saat ini masih menjadi bukti adanya pemisahan-pemisahan pada zaman kolonial itu. Anggota-anggota sosial yang dominan yang sebagian besar terdiri dari orang-orang Eropa, di kota–kota mereka mempunyai daerah-daerah tempat tinggal yang khusus dan di bagian kota yang baik. Karena pergaulan hidup antara golongan-golongan itu tertutup, maka apabila tidak ada kontak yang perlu, golongan-golongan itu berusaha menjauhkan diri satu sama lainnya. Dapat dinyatakan lebih konkrit, mereka hidup, bekerja dan membangun pada jalan yang sama sekali berbeda, dan mereka mempunyai kepentingan-kepentingan, kemampuan-kemampuan dan ideal-ideal yang tidak sama. Hanya pada hubungan-hubungan formal, seperti hubungan majikan dengan buruh atau hubungan tuan dengan hamba, terjadilah kontak tetapi kontak yang menunjukan ketidaksamaan tersebut. Bilamana kontak sosial tidak dapat di hindari, maka jarak sosial itu diterbitkan dan di lambangi dengan berbagai macam etiket dan berbagai macam mekanisme untuk melindungi diri sendiri. Semua bentuk pemisahan  yang mencolok itu di institusionalisasikan untuk mencegah kontak sosial pada tingkat - tingkatan dimana ada kesamaan sosial atau keakraban. Dilihat dari segi ini, maka masyarakat kolonial itu sunggun -sungguh menyerupai masyarakat yang berkasta.
Tahun 1930 jumlah seluruh penduduk bumiputra di Jawa hampir mendekati 41.000.000 sedangkan untuk jumlah penduduk Eropa hampir 200.000. Berarti jumlah penduduk Eropa hanya sebesar 0,5% dari penduduk bumiputra. Penduduk yang sedikit banyak boleh dikatakan penduduk kota hanya 3.500.000 atau 8,5% dari seluruh penduduk Jawa. Dari jumlah itu golonga Eropa seluruhnya berjumlah 650.000. 64,5%. dalam waktu 30 tahun jumlah mereka bertambah tiga kalilipat. Kenaikan jumlah masyarakat Eropa ini dikarenakan karena adanya perluasan aparatur pemerintah dan perusahaan-perusahaan Barat. Sesuatu hal yang menarik perhatian bahwa pada periode itu juga pendudukan dan pekerjan terbuka lebih besar bagi bangsa Indonesia. Meskipun bagsa Indonesia dapat diangkat pada fungsi-fungsi taraf menengah, tapi bagian-bagian tingginya sebagian diisi oleh orang-orang Eropa, yaitu Indo Eropa atau mereka yang di datangkan ke Jawa dari negeri Belanda. Dari sini dapat ditemukan adanya prinsip diskriminasi ras. Statistik 1938 menunjukan pertalian dari proporsi itu, dimana Panitia studi perubahan - perubahan politik membuat suatu gambaran diantaranya adalah :
a.     92,2% dari pegawai-pegawai tinggi pada dinas-dinas pemerintah adalah orang Eropa. Pada berbagai cabang fungsi-fungsi golongan administratif golongan Eropa menjadi mayoritasnya, misalnya 77% dalam staf teknis, 83% dalam staf pengawasan, dan 67% dalam sataf keuangan.
b.    Sedangkan 6,4% bangsa Indonesia.


2.1.3  Kondisi Sosial Dalam Tipe Tempat Tinggal
Selain digolongkan berdasarkan kriteria diskriminasi ras, stratifikasi sosial yang terjadi dalam kalangan masyarakat kolonial ini dapat digolongkan berdasarkan tipe tempat tinggal. Tahun 1930 jumlah penghuni rumah rata-rata 4 orang bagi golongan Eropa dan 4,7 orang bagi bangsa Jawa. Dan hanya 2% dari penduduk Eropa di Jawa yang berdiam di rumah yang dibuat dari material yang tidak permanen, sedangkan untuk golongan bumiputra 40%. Jumlah rumah batu yang didiami golongan Eropa berjumlah 35.890 buah, sedangkan yang didiami golongan bumuputra berjumlah 352.353 buah.
Rumah dengan gaya modern juga menjadi tanda status kehidupan yang tinggi. Lokasi rumah yang khusus, ukuran besarnya, struktur dan susunannya. Semua itu secara langsung menunjukan status pemiliknya. Rumah-rumah priyayi tinggi berukuran besar, dibuat dari batu seperti halnya rumah-rumah pegawai menengah dan pegawai tinggi sedangkan pegawai-pegawai rendahan bertempat tinggal di rumah-rumah kayu dan penduduk-penduduk desa di rumah -rumah bambu. Namun mengenai hal ini belum dapat dibuat anilisis statistik dari data sosial ekonomi mengenai unsur kebudayaan ini. Selain ini juga ada kriteria lain yang digunakan sebagai penggolongan masyarakat kolonial kedalan struktur sosial, kriteria tersebut adalah sektor pendidikan.
Pendidikan umumnya merupakan alat yang dijadikan untuk menyeleksi dan melatih seseorang dalam rangka untuk memegang posisi-posisi dalam suatu status dalam masyarakat. Pendidikan yang ada di lingkungan masyarakat Jawa sangatlah penting, karena pendidikan dijadikan sebagai salah satu kriteria yang lazim dalam pengangkatan jabatan di berbagai lembaga kedinasan, baik itu lembaga-lembaga pemerintahan ataupun perusahaan-perusahaan swasta. Sebagian besar golongan masyarakat bumiputera yang memperoleh pendidikan Barat mendapatkakn pekerjaan pada dinas - dinas pemerintahan.
Pada tahun 1928, 45% golongan dari bumiputera yang setidaknya memperoleh pendidikan rendah pada sekolah-sekolah bergaya Barat, dipekerjakan sebagai pegawai-pegawai negeri. Dapat dikatakan dari data tersebut bahwa, politik pengajian pemerintah lebih didasarkan pada penyamaan fungsi dengan gaji dan pendidikan. Dari sini dapat ditarik kesimpulan menegenai daya tarik dari pendidikan Barat adalah karena dengan mengenyam pendidikan ini maka seseorang dapat mendapatkan prioritas untuk memperoleh posisi-posisi sebagai pengawasan dan pemegang kekuasaan. Maka tidak mengherankan, apabila  pendidikan Barat menjadi idam-idaman orang dan orang menghargai mereka yang berpendidikan Barat tanpa mengingat asal-usul mereka. Meskipun demikian, pada mulanya pendidikan Barat sangat terbatas, hanya tersedia bagi anak priyayi tinggi.Selain dari pada itu pengetahuan mengenai Bahasa Belanda di wajibkan dalam pendidikan Barat, sehingga pengetahuan itu lambat laun hampir identik dengan lambang status yang tinggi.
Dalam perkembangan selanjutnya, basis dari pendidikan Barat ini lebih diperluas lagi dan pada prinsipnya menjadi lebih terbuka, yang sebelumnya bersifat tertutup untuk kalangan masyarakat kolonial pada umumnya. Pendidikan Barat ini terbuka baik bagi mereka yang berbakat maupun berbangsa. Meskipun demikian, pada sasarannya pendidikan Barat ini masih dibatasi, oleh karena itu pada dasarnya pendidikan ini tidak sepenuhnya bersifat terbuka, dan relatif hanya segelintir masyarakat kolonial yang dapat mengirimkan anak-anaknya untuk memperoleh pendidikan pada sekolah–sekolah bergaya Barat.

2.1.4  Kondisi Sosial dalam Segi Jabatan
Salah satu hal yang khas dari masyarakat kolonial adalah adanya perbedaan pokok antara pekerjaan-pekerjaan Eropa dan non-Eropa. Pengangkatan-pengangkatan yang terjadi dalam kategori pekerjaan-pekerjaan Eropa erat kaitannya dengan skala gaji khusus, yang dicocokan dengan taraf hidup yang tinggi dari golongan Eropa. Hal ini yang dinamakan dengan golongan penghasilan skala C, untuk skala B pengetahuan tentang bahasa Belanda diwajibkan, sedangkan skala A meliputi beberapa pekerjaan dimana bahasa Belanda diwajibkan, dan beberapa pekerjaan bagi mereka yang berpendidikan dasar dengan bahasa bumiputra. Selain itu juga ditemui golongah upahan yang tergolong dalam skala upahan bumiputra. Posisi pada dinas-dinas pemerintah di mana bahasa Belanda diwajibkan berjumlah 19.6% sedang pada perusahaan partikelir 17%.
Sejak diberlakukannya peraturan kepegawaian yang berdasar pada background pendidikan, dalam hal ini dilihat pada sekolah-sekolah model Barat pada umumnya, dan pengetahuan mereka tentang bahasa Belanda khususnya, maka pembagian jabatan menunjukan gambaran sebagai berikut:
1.      Pertama golongan yang bergaji kurang dari f 50 yang termasuk golongan Eropa hanya 0.49% dan 92,61% adalah golongan bumiputra, sedang kategori pegawai dengan gaji f 250 atau lebih golongan Eropanya meliputi 82,65% dan golongan bumiputranya hanya 7,35%.
2.      Kedua, dintara 8.303 orang pejabat pada dinas-dinas pemerintah hanya ada 189 orang bumiputra.
3.      Ketiga, personel administrasi dari kelas B prosentase pegawai-pegawai bumiputra makin keatas makin menurun.
Berdasarkan data tersebut, 66,9% dari pos-pos tulis kelas dua diduduki oleh golongan bumiputra, 52%  pada pos-pos juru tulis kelas satu, 47% pada pos-pos ajung-komis, 30,2%  pos komis kelas satu, 0,7% pada komis tingkat kepala, dan tidak ada sama sekali pada pos kepala kantor. Angka-angka yang menunjukan prosentase pegawai Eropa sebaliknya, yaitu menanjak keatas dari 31% dan berakhir pada 100%.
Secara umun dapat disimpulkan bahwa, aspek pembedaan penghasilan itu sebaian besar disesuaikan dengan dengan perbedaan ras, dengan pengolongan rata–rata sedikit golongan Eropa di bagian atas dan banyak sekali golongan bumiputra di bagian bawah. Terpencarnya golongan bumiputra di dalam stratifikasi jabatan pada masyarakat Jawa dan diteruskan pembedaan warna dapat digambarkan dengan suatu diagram yang berbentuk limas. Diagram ini mengambarkan, bahwa terdapat ketidak seimbangan pada penempatan masyarakat kolonial Jawa, dikarenakan diskriminasi ras dan faktor pendidikan yang minim pada masyarakat kolonial Jawa. Dalam stratifikasi sosial tersebut juga pada lapisan tengahnya terlampau sedikit atau tidak ada sama sekali dari masyarakat kolonial. Apalagi pada lapisan atas, tidak ditemukannya masyarakat dari golongan kolonial Jawa.Lapisan atas dan tengah cenderung diduduki oleh masyarakat Belanda dan Indo Belanda.Baru pada lapisan bawah banyak ditemui masyarakat kolonial Jawa.

2.2  Kondisi Ekonomi Bangsa Indonesia Pada Masa Pergerakan Nasional
Pergerakan Nasional Indonesia telah kita ketahui berawal dari abad ke-20, dimana pada abad ke-20 masyarakat Indonesia merupakan masyarakat kolonial yang serba terbelakang, misalnya saja pada bidang ekonominya. Pada masa Pergerkan Nasional di Indonesia masih dipengaruhi oleh reaksi-reaksi para penjajah yang selalu menimbulkan pertentangan kepentingan secara terus menerus. Reaksi penjajah tersebut yaitu sistem eksploitasi. Penjajah melakukan tindakan ekonomi untuk melindungi kepentingan ekonominya, sehingga motif ekonomi pada situasi kolonial menjadi faktor dominan untuk menetukan hubungan antara golongn-golongan social. Meskipun pada abad ke-20 telah menghapus istilah wingewes, tetapi kenyataannya pemerintah colonial tetap mempertahankan eksploatasi.
            Dengan pertentangan kepentingan tersebut menyebabkan keadaan ekonomi pada masa Pergerakan Nasional masih tetap terbelakang. Kondisi ekonomi menjadi terbelakang karena sistem produksi pada masa Pergerakan Nasional masih menggunakan cara produksi yang lama yang tidak mampu menghadapi kapitalis kolonial yang mempunyai organisasi dan tekhnologi modern. Keadaan yang terus seperti ini, yang menghalangi usaha perekonomian bangsa Indonesia menimbulkan suatu sikap solidaritas yang mengarah pada usaha emansipasi ekonomi. Pada masa Pegerakan Nasional kegiatan perekonomian masyarakat Indonesia yang masih pedagang, maka mewujudkan solidaritas dengan bentuk reaksi yang diucapkan pada pedagang asing. Pihak Pergerakan Nasional Indonesia, seperti Sarekat Islam misalnya yang bertujuan untuk meningkatkan kehidupan ekonomi rakyat dengan memajukan perdagangan dan melindungi kebutuhan-kebutuham materialnya. Usaha Sarekat Islam yang bersifat ekonomi membawa pengaruh pada organisasi lain untuk membantu perekonomian bangsa Indonesia, yaitu Boedi Utomo, Pasundan, Perkumpulan Bupati.
Kemudian segera menyusul ide kemajuan beserta cita-cita untuk meningkatkan taraf kehidupan bangsa Indonesia. Ide-ide yang muncul tersebut akan melandasi pergerakan organisasi-organisasi yang tumbuh dan berkembang pada masa itu. Bahkan masing-masing organisasi memiliki dasar dan idiologi yang dapat memperkuat kedudukan maupun perjuangannya. Ideologi-ideologi tersebut meliputi :
1.        Ideologi Liberalisme.
Ideologi liberalisme diperkenalkan di Indonesia oleh orang-orang Belanda yang mendukung perjuangan bangsa Indonesia. Orang-orang Belanda tersebut melihat banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan seperti dengan bertindak sangat jauh di luar batas-batas perikemanusiaan. Tindakan-tindakan pemerintah kolonial Belanda yang mereka kecam, seperti tindakan pemerasan, kekejaman atau penyiksaan dan lain sebagainya.
Masalah-masalah seperti ini mereka sampaikan pada saat diselenggara-kan sidang parlemen di negeri Belanda. Mereka mengecam dengan keras segala tindakan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda bersama kaki tangannya di wilayah Indonesia. Mereka mengusulkan agar pemerintah kerajaan Belanda memerintahkan pelaksanaan paham liberalisme di Indonesia. Diharapkan paham liberalisme dapat membawa masyarakat Indonesia kepada perubahan yang lebih baik.
Paham liberalisme merupakan suatu paham yang mengutamakan kemerdekaan individu atau kebebasan kehidupan masyarakat. Sebab dalam alam kebebasan itu masyarakat dapat berkembang dan berupaya meningkat­kan kesejahteraan hidupnya. Paham liberalisme ini dikembangkan oleh organisasi-organisasi politik di Indonesia seperti Indische Partij.
2.        Ideologi Nasionalisme. 
Ideologi Nasionalisme kali pertama diperkenalkan oleh organisasi politik yang muncul di wilayah Indonesia. Ideologi Nasionalisme menjadi dasar perjuangan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang diketuai oleh Ir. Soekarno. Nasionalisme sebagai suatu ideologi menunjukkan suatu bangsa yang mempunyai kesamaan budaya, bahasa, dan wilayah. Selain itu, juga kesamaan cita-cita dan tujuan. Dengan demikian kelompok tersebut dapat merasakan adanya kesetiaan yang mendalam terhadap kelompok bangsa itu.
3.        Ideologi Komunis.
Ideologi komunisme diperkenalkan kali pertama oleh Sneevliet, seorang pegawai perkereta-apian yang berkebangsaan Belanda. Ideologi komunisme ini diwujudkan dalam pembentukan organisasi yang bemama Indische Social Democratis The Vereeniging (ISDV). Organisasi ISDV sangat sulit mendapatkan dukungan dari rakyat karena rakyat kurang mempercayai orang Belanda.
Kesulitan memperoleh dukungan rakyat, Sneevliet kemudian menjalin hubungan dengan Semaun, seorang ketua cabang Sarekat Islam di Semarang. Terjalinnya hubungan antara Sneevliet dengan Semaun memunculkan pembentukan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1920.
Gerakan PKI yang sangat radikal, dilanjutkan dengan melakukan pemberontakan tahun 1926 dan 1927. Namun akibat kegagalan dari pem-berontakan itu, PKI dijadikan sebagai partai teriarang di Indonesia pada masa kekuasaan kolonial Belanda.
4.      Ideologi Demokrasi. 
Ideologi demokrasi pertama kali muncul di daerah Yunani dengan sistem demokrasi langsung. Artinya rakyat ikut serta menentukan jalannya suatu pemerintahan. Akan tetapi, sistem demokrasi ini tidak mungkin dapat dilaksanakan di Indonesia pada masa pergerakan Nasional. Hal ini disebabkan karena bangsa Indonesia masih berada di bawah penjajahan Belanda. Belanda tidak mungkin menerapkan sistem demokrasi di wilayah Indonesia, karena hal itu akan merugikan kekuasaan pemerintah kolonial Belanda.
Sistem demokrasi baru dapat terlaksana di wilayah Indonesia setelah Indonesia merdeka. Sistem demokrasi yang dilaksanakan di Indonesia dikenal dengan sistem demokrasi Pancasila.
5.      Ideologi Pan-lslamisme.
Ideologi Pan-Islamisme merupakan suatu paham yang bertujuan mempersatukan umat Islam sedunia. Ideologi ini muncul berkaitan erat dengan kondisi abad ke-19 yang merupakan kemunduran dunia Islam. Sementara itu, dunia Barat berada dalam kemajuan dan melakukan penjajahan terhadap negara-negara Islam, termasuk Indonesia yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam.
Pan-Islamisme merupakan suatu gerakan yang radikal dan progresif. Hal ini sangat disadari oleh kaum atau negara-negara imperialisme Barat termasuk Belanda yang menjajah Indonesia. Semangat yang terkandung dalam gerakan Pan-Islamisme telah membangkitkan rasa kebangsaan yang kuat dengan didasari ikatan keagamaan. Ideologi ini telah mendorong munculnya organisasi-organisasi yang berdasarkan keagamaan di wilayah Indonesia seperti Sarekat Islam (SI), Muhammadiyah, dan lain-lain.
Perkembangan sejarah nasional juga ditandai dengan berdirinya organisasi-organisasi pergerakan. Organisasi-organisasi pergerakan nasional tersebut meliputi :
1.      Budi Utomo
Budi utomo adalah organisasi modern pertama yang didirikan oleh Sutomo, Suraji, dan Gunawan Mangunkusumo di Jakarta, pada tanggal 20 Mei 1908. Budi Utomo bercita-cita mencapai kemajuan dan meningkatkan derajat bangsa Indonesia. Tujuan tersebut hendak dicapai melalui usaha, antara lain:
a.       Memajukan pengairan
b.       Memajukan pertanian, peternakan, dan perdagangan
c.       Memajukan industri
d.      Menghidupkan kembali budaya bangsa
Budi utomo merupakan organisasi yang bersifat kedaerahan (Jawasentris). Walaupun demikian, kelahiran Budi Utomo merupakan pelopor pergerakan nasional Indonesia pertama, sehingga tanggal berdirinya ditetapkan sebagai hari kebangkitan nasional Indonesia. Budi utomo mengalami kemunduran karena kesulitan keuangan dan para bupati mendirikan organisasinya sendiri, anggota golongan muda banyak menarik diri karena kecewa terhadap strategi perjuangan Budi utomo, sehingga memunculkan organisasi-organisasi baru yang lebih memenuhi keinginan masyarakat.
2.      Indische Partij
Organisasi pergerakan nasional pertama yang secara terang-terangan menyatakan dirinya sebagai partai politik ialah Indische Partij. Didirikan oleh Tiga Serangkai (E.F.E Douwes Dekker, dr. Cipto Mangunkusumo, dan Ki Hajar Dewantara) pada tahun 1912 di Bandung. Indische Partij secara tegas menyatakan berjuang untuk melepaskan diri dari penjajahan atau mencapai Hindia merdeka dan cita-cita organisasi tersebut disebarluaskan melalui surat kabar De Express. Anggotanya masih terbatas pada lingkungan elite terpelajar namun tidak lagi bersifat kedaerahan seperti Budi Utomo. Pada tahun 1913 IP dibubarkan dan dinyatakan sebagai organisasi terlarang karena telah mengkritik Belanda dan tindakan tersebut dianggap terlalu radikal.
3.     Sarekat Islam (SI)
Sarekat Islam didirikan di Solo pada tahun 1911 oleh Haji Samanhudi. Tujuan perkumpulan ini adalah menghimpun para pedagang Islam agar dapat bersaing dengan para pedagang asing. SI tumbuh dengan pesat karena beberapa faktor, yaitu :
a.      Kesadaran nasional sebagai suatu bangsa yang mulai tumbuh
b.      Bersifat kerakyatan
c.      Didasari agama islam
d.      Digerakkan oleh para ulama
Adapun faktor yang mendorong didirikannya Sarekat islam, antara lain:
1.      Ekonomi, untuk memperkuat menghadapi persaingan dengan para pedagang Cina yang menggendalikan penjualan bahan baku batik.
2.      Agama, untuk memajukan islam.
4.     Partai Komunis Indonesia (PKI)
PKI merupakan organisasi sosial radikal yang merupakan jelmaan dari ISDV yang didirikan Snevlier, Drekker, dan Bransteder pada tahun 1914. Tujuan PKI ialah menyebarluaskan paham sosialis demokratis dengan membangun perasaan revolusioner bangsa Indonesia. Dan sejak Kongres I PKI tahun 1924, gerakan politik PKI menjadi semakin agresif dan ekstrem dengan melakukan agitasi dan propaganda yang bersifat menghasut dan menyerak pemerintah Belanda. Karena politiknya yang radikal tersebut PKI dinyatakan sebagai organisasi terlarang dan dibubarkan pada tahun 1927.

5.      Taman Siswa
Taman Siswa merupakan sekolah kebangsaan pertama yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara pada tanggal 3 Juli 1922. Tujuan pendidikan Taman Siswa adalah mewujudkan masyarakat yang tertib dan damai yang dicapai mendasar pada asas Panca Dharma. Isi asas tersebut antara lain:
a.      Dasar kodrat alam
b.      Dasar kemerdekaan
c.       Kebudayaan
d.      Dasar kebangsaan atau kerakyatan
e.      Kemusiaan
6.      Partai Nasional Indonesia (PNI)
PNI didirikan di Bandung pada tanggal 4 Juli 1927. Adapun para pendiri PNI antara lain, Ir. Sukarno (diangkat menjadi ketua PNI), Mr. Sartono, dan Mr. Sunaryo. Tujuan berdirinya PNI dalam politik adalah untuk mencapai Indonesia merdeka. Dan tujuan tersebut hendak dicapai dengan percaya diri sendiri dan memperbaiki keadaan politik, ekonomi, serta sosial budaya yang sudah rusak oleh penjajahan. Dan organisasi ini merupakan organisasi yang beraliran nasionalisme sehingga menolak untuk bekerja sama denagn pemerintah Belanda.
7.     Pergerakan Kaum Wanita
Pelopor gerakan wanita Indonesia adalah R.A Kartini yang lahir pada tanggal 21 April 1879. Cita-cita beliau adalah memperbaiki derajat kaum wanita melalui pendidikan dan pengajaran. Dari Jawa Barat juga muncul tokoh wanita Dewi Sartika. Pergerakan kaum wanita umumnya bersifat sosial denagn tujuan untuk memperoleh persamaan hak dengan kaum pria dan meningkatkan kemampuan dan kecerdasan kaum wanita.
8.     Gerakan Pemuda
Lahirnya beberapa organisasi pergerakan pada masa pergerakan Indonesia telah mendorong lahirnya organisasi kepemudaan seperti:
a.       Tri Koro Darmo
Tri Koro Darmo memeiliki arti tiga tujuan mulia, yaitu Sakti, Budi, dan Bakti. Organisasi ini berdiri di Jakarta pada tanggal 7 Mei 1915. Tujuan didirikannya yaitu untuk mencapai Jawa Raya dengan jalan memperkukuh rasa persatuan antara pemuda-pemuda Jawa, Sunda, Madura, Bali, dan Lombok.
b.      Jong Sumatranen Bond
Organisasi ini berdiri pada tanggal 9 Desember 1917 di Jakarta dan di Bukut Tinggi. Tokoh utama organisai ini adalah Moh. Hatta dan Moh. Yamin.
c.       Jong Islamiten Bond (JIB)
Jong Islamiten Bond berdiri pada tanggal 1 Januari 1925 oleh Syamsul rizal, mantan ketua Jing Java. Tujuan dari organisai ini adalah mempererat pesatuan di kalangan pemuda Islam berumur 14-30 tahun.
9.   Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI)
PPPI didirikan pada bulan September tahun 1926 oleh pelajar di Jakarta dan Bandung. Tujuan didirikannya PPPI adalah memperjuangkan Indonesia merdeka.
10.  Pemuda Indonesia
Tujuan Pemuda Indonesia adalah memperluas dan mempererat kesatuan nasional Indonesia. Organisasi ini didirikan pada tanggal 20 Februari 1927. Anggota PI terdiri atas pelajar yang pernah bersekolah di luar negeri untuk membedakan anggota PPPI yang bersekolah di dalam negeri.
11.  Organisasi Pergerakan Bersifat Keagamaan
a.   Muhammadiyah
Muhammadiyah didirikan pada tanggal 18 November 1912 oleh K.H. ahmad Dahlan. 
b.   Nahdatul Ulama (NU)
Nahdatul Ulama didirikan pada tanggal 21 januari 1926 di Surabaya. Asas NU adalah islam dan kebangsaan Indonesia. Tujuan pendirian NU ialah menegakkan syariat Islam berdasarkan mazhab Syafii.
c.   Persatuan Muslimin Indonesia (Permi)
Permi merupakan organisasi Islam yang bercorak nasionalisme radikal dan bertujuan untuk mencapai Indonesia merdeka.
12.  Kongres Pemuda
Untuk menyatukan semua organisasi pergerakan nasional maka diadakanlah Kongres Pemuda Indonesia I tahun 1926 di Yogyakarta. Meskipun pada waktu itu, belum berhasil membentuk satu organisai pemuda, namun dalam kongres tersebut telah dibuktikan betapa kuatnya semangat persatuan dikalangan kaum muda Indonesia. Kongres Pemuda II berlangsung di Jakarta tanggal 26-28 Oktober 1928. Dalam kongres tersebut para wakil pemuda seluruh Indonesia menyatakan ikrar kebulatan tekad atau yg disebut Sumpah Pemuda.
13.  Perhimpunan Indonesia
Para pelajar dan mahasiswa Indonesia di Negeri Belanda pada tahun 1908 mendirikan sebuah organisasi yang bernama Indische Vereneeging. Tujuan pendirian organisasi ini adalah untuk memperjuangkan kepentingan orang Indonesia di Negeri Belanda. Pada tahun 1922, organisasi Indische Vereneeging berganti nama menjadi Indonesische Vereneeging dan pada tahun 1924 diubah lagi menjadi Perhimpunan Indonesia. Kegiataan organisasi ini terbatas pada pertemuan para anggota dan mengadakan pertemuan dengan orang-orang Belanda yang memperhatikan Indonesia. Aktivitas lain yang dilakukan Perhimpunan Indonesia adalah mengikuti Kongres Liga Demokrasi di Paris, Perancis pada tahun 1926.
14.  Partai Indonesia Raya (Parindra)
Dokter Sutomo pada tahun 1931 mendirikan Persatuan Bangsa Indonesia (PBI). Pada tanggal 24-26 Desember 1935 diadakan kongres fusi Budi Utomo dengan PBI untuk menyatukan partai-partai kecil agar memperoleh kekuatan besar. hasil fusi tersebut menghasilkan partai baru yang disebut Partai Indonesia Raya(Parindra). Tujuan partai tersebut tercantum dalam namanya, yaitu Indonesia Raya. Parindra banyak bergerak dalam bidang pemberantasan buta huruf dan perbaikan pelajaran.
15.  Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo)
Didirikan oleh para mantan pendiri Partindo tanggal 24 Mei 1937. Tujuan Gerindo adalah mencapai pemerintahan negara yang berdasarkan kemerdekaan politik, ekonomi, dan sosial.

            Kondisi sosial-ekonomi masyarakat Indonesia yang sangat buruk misalnya dengan upah yang sangat rendah, kerja paksa, pajak tanam, tanah partikelir, industri gula, dan lain sebagainya. Dengan situasi seperti ini, perjuangan ekonomi mulai dimunculkan dengan gerakan massa. Namun antitesis antara pihak penjajah dan pihak terjajah menjadi makin tajam. Pihak penjajah makin besar kekayaannya dan rakyat Indonesia menderita. Kondisi ekonomi yang makin buruk menyebabkan pergerakan itu menjadi lebih radikal. Pemogokan pegawai-pegawai dan kaum buruh memanifestasikan kejengkelan-kejengkelan hati terhadap krisis ekonomi yang terpaksa dijalani rakyat.
            Diskriminasi politik ekonomi, seperti pembatasan-pembatasan dan penarikan pajak atas penghasilan karet rakyat atau peraturan terhadap pendirian pabrik gula penduduk pribumi, memperbesar pertentangan ekonomi dan menyebabkan kesadaran ekonomi di antara kaum nasionalis menjadi lebih besar. Sadar akan modal kolonial menghalangi usaha emansipasi ekonomi dan tetap mempertahankan tanah jajahannya untuk mendapatkan keuntungan yang besar. Di masa Pergerakan Nasional organisasi Boedi Oetomo dan Partai Bangsa Indonesia telah memberi bentuk-bentuk konkrit kepada cita-cita ekonomi nasional dan dapat dianggap suatu bukti adanya prinsip berdiri di atas kaki sendiri.
2.3  Kondisi Budaya Bangsa Indonesia Pada Masa Pergerakan Nasional
Ketika memasuki masa pergerakan nasional pada abad 20 kondisi bangsa Indonesia masih dipengaruh budaya barat yang dibawa oleh para penjajah.Hal ini bisa terjadi karena bangsa penjajah masih ingin menguasai Indonesia untuk menghasilkan keuntungan yang bear untuk bangsanya. Di Indonesia terdapat beberapa budaya, baik itu budaya asli bangsa Indonesia maupun budaya barat. Namun pada masa Pergerakan Nasional budaya asli Indonesia mengalami keterburukan, Budaya bangsa Indonesia tidak digunakan di seluruh Indonesia melainkan budaya Baratlah yang menjadi penguasa di Indonesia. Misalnya saja budaya bahasa Melayu, di Indonesia hanya sedikit diberlakukannya bahasa Melayu, lebih banyak menggunakan bahasa Belanda dalam berkomunikasi. Jadi, kondisi budaya bangsa Indonesia pada masa Pergerakan Nasional mengalami keterbatasan.
2.3.1   Budaya Dalam Segi Bahasa
Pada masa Pergerakan Nasional, Indonesia masih dipengaruhi oleh budaya barat. Dalam segi bahasa, bahasa melayu yang merupakan bahasa Indonesia pada saat itu tidak digunakan sepenuhnya di wilayah Indonesia, melainkan Bahasa Belanda yang banyak digunakan. Karena pada saat pergerakan nasional bangsa Belandalah yang masih berkuasa di Indonesia. Masyarakat Indonesia dalam berkomunikasi lebih dominan berbahasa Belanda, apalagi jika berkomunikasi dengan orang Belanda harus menggunakan bahasa Belanda. Bahasa melayu hanya diberlakukan oleh masyarakat-masyarakat tertentu, misalnya oleh masyarakat di daerah pedesaan yang jauh dari kota. Jadi budaya bahasa asli Indonesia mengalami keterbelakangan pada masa pergerakan nasional.


2.3.2   Budaya Dalam Segi Bangunan di Kota-Kota
Selain bahasa juga pada model bangunan-bangunannya, memasuki abad ke-20 bangunan tidak berbeda jauh dari sebelumnya, hanya saja bangunan-bangunannya sudah rapat satu sama lain. Dengan berkembangnya penduduk Eropa, yang bersamaan dengan meluasnya system pemerintah colonial beserta birokrasinya, bangunan-bangunan sudah mulai berupa gedung-gedung pemerintahan dan kediaman pejabat. Kabupaten menghadap alun-alun dan disekitarnya terdapat rumah asisten residen dan kontrolir, gedung pengadilan, rumah penjara, gudang garam, kantor pos, dan telepon serta rumah-rumah pejabat. Gedung-gedung sekolah juga sudah mulai dibangun. Bangunan rumah sakit, lapangan olahraga, dan lain sebagainya juga sudah ada.
Memasuki abad ke-20 pola pemukiman kota menunjukkan jelas sifat pluralistis masyarakat Indonesia. Kompleks rumah tembok atau (loji) dengan halam luas dipemukiman digolongan Eropa dan elite di bumi, pecinan dengan bangunan yang padat dan rapat satu sama lain, kemudian kampung terutama kaum pribumi tinggal, yang biasanya merupakan kontras dengan daerah lainnya, baik kualitas bangunannya maupun system sanitasinya.
Berdasarkan cacah jiwa dari tahun 1920 kira-kira 7,63% dari penduduk. Jawa dan Madura tinggal di kota yaitu pusat pemukiman yang berpenduduk lebih kurang 10.000 keatas. Pada tahun 1930 jumlah itu naik menjadi 8,51%.
Diantara 77 kota yang diukur pertumbuhannya dari 1920 sampai 1930 ternyata kenaikannya hanya 6,63% menjadi 7,63%, jadi naik kurang lebih 1%. Dengan demikian, laju urbanisasi tidak terlalu cepat, antara lain karena tidak ada industrialisasi yang berarti pada satu pihak dan mobilisasi pelayanan yang sangat terbatas pada pihak lain.
Disamping mencerminkan pluralism masyarakat Indonesia, pola pemukiman di kota-kota juga menunjukkan stratifikaso social masyarakat colonial dimana mengelompokkan menurut garis warna sangat mencolok. Pecinan sebagai pusat perdagangan merupakan enclave, dimana bangsa Cina dan warga timur asing lainnya tinggal. Dikota-kota tipe tersebut diatas pada umumnya jumlah bangsa Eropa terbatas. Pada umumnya mereka tinggal dimana terdapat garnisun militer colonial atau didekat perkebunan yang sekaligus menjadi pesanggrahan karena iklimnya yang sejuk. Hanya elite atas local sajalah yang bertempat tinggal diloji beredekatan dengan golongan Eropa itu. Kampung-kampung menjadi tempat tinggal kaum pribumi saja, dimana perumahannya lazim bergaya pribumi dengan kebun dan halaman yang masih penuh dengan pohon dan tanaman rindang, sehingga memberi wajah setengah pedesaan. Adapun penduduknya adalah campuran dari golongan atau kelas menengah dan kelas bawah, serta antara penghuni lama dan pendatang. Perlu disebut tempat-tempat umum seperti pasar, kantor-kantor, stasiun kereta api dan bus, masjid dan greja serta klenteng, lapangan olahraga, balai pertemuan. Jaringan social memberi titik kontak social bagi penduduk kota, meskipun terbatas pada golongan pribumi, yang disebabkan karena diskriminasi ras dan etnik masih sangat ketat.
Dengan pemukiman (wijk) Eropa secara fisik menunjukkan perbedaan yang mencolok dengan kampong atau pecinan, lagi pula lokasinya lebih banyak diperiveri kota, dimana lingkungan belum terkenal polusi kota. Bangunan rumah pada umumnya termasuk tipe fila, yang oleh rakyat disebut loji atau loge. Tata ruang disesuaikan dengan iklim panas, ruangan-ruangan berdinding tinggi, dan pintu serta candela-cendela besar-besar dan tinggi. Keteduhan dijaga dengan adanya halaman dan kebun disekitar gedung. Daerah ini dihuni eksklusif bangsa Eropa dan apabila terdapat penghuni pribumi, maka hal itu merupakan kekecualian dan mereka lazimnya termasuk kelas atas. Kebersihan kota dijaga ketat sehingga menambah keindahan wilayah.
2.3.3   Budaya Dalam Segi Pendidikan
Budaya pendidikanpun juga terjadi di masa pergerakan nasional, pendidikan sedikit di beda-bedakan. Sekolah untuk anak pribumi berbeda dengan anak bangsawan. Jadi,  sebagian masyarakat yang tersebar di seluruh Indonesia  sebagian masih berkebudayaan Indonesia tepatnya di daerah-daerah pedalaman, dan sebagian lagi masih menggunakan kebudayaan barat yaitu di daerah-daerah kota. Budaya di pulau Jawa dengan di luar pulau Jawa juga sedikit berbeda. Pulau Jawa merupakan tempat penjajah memperluas wilayahnya, jadi sebagian penduduk pulau Jawa masih dipengaruhi oleh kebudayaan barat, khususnya kebudayaan para penjajah.
2.3.4   Budaya Dalam Segi Berpakaian
Perkembangan gaya berpakaian di kalangan masyarakat Indonesia  pada masa pergerakan  menimbulkan pengaruh yang cukup besar bagi kehidupan masyarakat. Tidak hanya golongan priyayi tetapi juga bagi kaum elit baru yang menginginkan perubahan dan persamaan hak dalam berbagai hal kehidupan terutama kehidupan bergaya Eropa yang bebas dan tanpa aturan tradisional dalam melakukan aktivitasnya. Selain itu juga, pendobrakan terhadap diskriminasi yang diciptakan oleh pemerintah kolonial Belanda dan Kraton melalui budaya politik pakaian yang telah dilakukan sejak jaman VOC hingga politik Etis dilaksanakan. Kaum pergerakan melakukan perlawanan terhadap diskriminasi ini.
Pakaian sejak lama telah menjadi bentuk pembeda dari bermacam-macam golongan masyarakat di berbagai belahan dunia. Pakaian menjadi simbol strukturasi dan pembagian kelas dalam masyarakat. Masyarakat dapat dilihat secara jelas melalui cara berpakaian, bahan pakaian serta mode pakaian yang digunakan, berasal dari kelas mana individu itu berada. Pakaian menjadi simbol kekayaan dalam pembagian struktur masyarakat.
Sebelum Belanda (VOC) datang ke Indonesia dan membangun koloninya di berbagai daerah di Jawa, pakaian di dominasi oleh pengaruh budaya Islam dan tentunya Jawa sebagai budaya lokal. Dengan kedatangan bangsa Belanda, kompetisi dalam bidang “mode” menjadi tiga pihak. Pada masa VOC pakaian Belanda merupakan penanda yang jelas tentang kebudayaan dan agama para tuan tanah asing. Pada awalnya Belanda ingin mempertahankan pakaian Eropa untuk diri mereka sendiri. Orang-orang Indonesia yang diperbolehkan memakai pakaian gaya Eropa di daerah-daerah yang dikendalikan oleh VOC adalah penganut Kristiani. Pelengkap khas pakaian bagi Kristiani non-Eropa terdiri atas topi gaya Eropa, kaus kaki dan sepatu. Pelengkap-pelengkap berpakaian ini tampaknya menjadi simbol yang menunjukkan bahwa seseorang berasal dari suatu kelas masyarakat yang telah menjembatani jarak antara para tuan tanah Belanda dan penduduk pribumi. Kadang-kadang mereka bahkan menjadi tanda peralihan dari perbudakan ke kebebasan. Di Hindia pakaian-pakaian Eropa ini merupakan bagian dari pakaian para Madijker, budak-budak bebas dari Afrika atau tempat-tempat lain di Nusantara dan keturunan-keturunannya.
Topi, celana, dan, hingga taraf yang lebih sempit, yakni sepatu, berfungsi untuk membedakan orang-orang ini dari orang-orang Indonesia lainnya di Batavia, yang diwajibkan untuk setia pada pakaian tradisional dan tutup kepala mereka. Orang-orang Indonesia non-Kristiani tidak diperbolehkan berpakaian seperti orang Eropa. Mereka diperintahkan, setidaknya selama mereka tinggal di Batavia, untuk tetap mengenakan pakaian daerah atau pakaian “nasional” mereka. Beberapa kali peraturan yang sama di ulang bahwa masing-masing kelompok etnis memiliki tempat tinggal tersendiri di Batavia dan bahwa para anggotanya tidak boleh memakai pakaian adat kelompok etnik Indonesia lain mana pun.
Pemakaian pakaian gaya Eropa walaupun di kalangan masyarakat umum tidak diperbolehkan tetapi hal ini tidak berlaku bagi para penguasa-penguasa di Jawa terutama Surakarta. Raja, pangeran, hingga para Bupati telah mengadopsi gaya berpakaian gaya Eropa dengan jas model terbuka dan pentalon gaya militer Eropa. Hal ini banyak diungkapkan dalam Babad Tanah Jawa, cara berpakaian gaya Eropa telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari beberapa kostum yang dipakai di Jawa. Pakaian-pakaian Eropa ini dikenakan untuk peristiwa-peristiwa publik. Pada upacara-upacara istana mereka tetap menggunakan kebudayaan Jawa. Meskipun mengadopsi elemen-elemen kebudayaan Barat dan Muslim tertentu, istana tidak pernah mengabaikan peran mereka sebagai penjaga kebudayaan Jawa.
Kalangan elit kerajaan di Surakarta contohnya penuh dengan peraturan dan larangan dalam pemakaian kostum masyarakat . Ada aturan tentang pakaian yang harus dikenakan oleh raja, sentana, abdi dalem, dan rakyat biasa. Raja adalah puncak keindahan, kemahalan, dan kemewahan. Koran lokal Darmo Konda memberitakan apa yang dipakai oleh raja waktu bertahta di Bangsal Pangrawit Pagelaran dalam upacara pemberian payung Srinugraha sebanyak lima belas macam, mulai dari atas berupa mahkota kanigara (kuluk) intan sampai sepatu neledu hitam dengan kaos kaki biru tua. Aturan-aturan pemakaian busana yang dikeluarkan oleh Kasunanan terutama diperuntukan bagi abdi dalem kerajaan dalam rangka hirarki dalam kerajaan. Hal ini terlihat dalam audiensi raja dengan abdi dalem, hari penobatan raja, hari lahir raja, baik sipil (wedono, kliwon, penewu, mantri) maupun militer (colonel, letnan colonel, major, kapitein, opsir, kader, onder-opsir, onder adjuntant) memakai pakaian yang berbeda sesuai dengan pangkatnya.
Memasuki abad ke-20 ketika dunia modern dan semangat liberalisasi sepenuhnya hadir ke dalam alam masyarakat Indonesia, masalah busana menjadi bagian terpenting dari perdebatan-perdebatan tentang kebudayaan. Semakin banyaknya masayarakat Jawa yang menginginkan pemakaian busana bergaya Eropa terbendung oleh larangan-larangan yang dimunculkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Larangan-larangan ini sebagai bagian upaya pihak pemerintah kolonial dalam menjalankan politik diskriminasi rasialnya dalam rangka menegaskan perbedaan kelas atau status sosial antara golongan penguasa dengan golongan yang dikuasai.
Pemakaian busana terutama busana Eropa bagi penduduk pribumi hingga awal abad ke-20 masih dilarang oleh pemerintah kolonial Belanda. Pemerintah kolonial Belanda masih menginginkan masyarakat berbagai etnis tetap terus memakai kostum identitas “nasional” mereka. Tetapi sesuai perkembangan jaman kemajuan masuknya ide-ide liberalisasi, nasionalisme melalui pendidikan gaya Barat perlahan dan pasti pelarangan-pelarangan pemakaian busana gaya Eropa oleh masyarakat pribumi terkikis habis. Masyarakat kota Solo mulai memakai pakaian gaya Eropa sebagai simbol jaman kemajuan.
Perkembangan modernisasi kota juga diikuti dengan perkembangan kesadaran bagi kaum elit pribumi dengan membentuk organisasi-organisasi pergerakan nasional. Dengan organisasi ini, tuntutan akan kesetaraan keras dibunyikan dan ditujukan terhadap pemerintah kolonial Belanda. Mas Marco Kartodikromo salah satu anggota Sarekat Islam Solo dengan lantang menyuarakan protesnya terhadap larangan berpakaian Eropa dan bersikap kebarat-baratan. Seperti diungkapkannya dalam Doenia Bergerak, sebuah surat kabar milik Inlandsche Journalisten Bond Solo:
“Toean Marco
Redacteur Doenia Bergerak di Solo
Seringkali kami membatja dalam roeangan Doenia Bergerak bahwa roepa-roepanja Toean-toean pembatja bangsa boemipoetra banjak jang dapat rintangan dari chef-chefnja lantaran berpakaian tjara Eropa.”.
Diskriminasi ini banyak ditentang oleh banyak kalangan kaum pergerakan nasional walaupun terdapat juga perdebatan-perdebatan mengenai baik dan buruknya menggunakan pakaian bergaya Eropa. Bagi pria, pakaian Eropa, termasuk dasi yang ditakuti, menjadi mode. Alasan bagi hal ini dapat segera ditemukan dalam gagasan yang kemudian muncul bahwa pendidikan dan ilmu pengetahuan Barat merupakan kunci menuju kemajuan. Modernitas dan kemajuan harus diinginkan bukan ditolak. Berpakaian gaya Eropa menjadi suatu indikasi bahwa seseorang mendukung perkembangan ide-ide progresif. Ini menunjukkan bahwa seseorang menjadi bagian dari suatu gerakan modern baru bukan saja untuk menuntut kebebasan politikyang lebih besar dari Belanda, melainkan juga memprotes tata krama dan etiket kaum elit masyarakatnya sendiri.
Dalam sebuah biogafi tentang Tirto Adhisoerjo, Pramoedya Ananta Toer mendeskripsikan bagaimana para pelajar STOVIA, Sekolah Pelatihan Dokter-Dokter Pribumi, pada akhir abad kesembilan belas masih diwajibkan memakai kostum tradisional mereka yang terdiri dari pakaian gaya Jawa dengan kain batik sebagai bawahan. Memasuki abad ke-20 semua berubah ketika para pelajar STOVIA memakai pakaian jas putih dengan celana panjang putih serta berdasi dan benar-benar necis.
Berpakaian gaya Eropa, atau Belanda, merupakan tanda emansipasi dan tentangan terhadap Belanda beserta aturan-aturan berpakaian yang ingin mereka paksakan. Tidak semua orang setuju dengan kecenderungan baru mengadopsi pakaian modern, bahkan tidak dalam gerakan nasionalis, karena ini menyerahkan identitas diri sendiri kepada bangsa lain, meniru gaya hidup tuan tanah asing. R.M. Soetatmo Soeriokoesoemo menghimbau para nasionalis untuk kembali pada pakaian tradisional, ia berdalih bahwa orang Jawa memakai pakaian Eropa hanya akan diperlakukan lebih baik oleh orang Belanda dan menghindari cemoohan. Pria-pria Belanda hanya menghormati celana panjang dan bersikap sedikit lebih baik terhadap orang Jawa yang memakai celana panjang daripada terhadap saudara-saudara mereka yang masih memakai sarung.
Belanda bukan satu-satunya yang telah melakukan kejahatan dalam memaksa bangsa Indonesia untuk memilih pakaian Barat dan bersikap diskriminatif terhadap orang Indonesia yang berpakaian gaya Barat dibandingkan mereka yang memilih setia berpakaian tradisional. Orang-orang Indonesia juga bersalah atas perilaku yang sama. Dalam Kaoem Moeda 25 September 1917, Keok, seorang penulis tetap di surat kabar tersebut, mengisahkan bagaimana ia diperlakukan dengan tidak menyenangkan di gedung bioskop ketika memesan minuman dan makanan. Ketika dating dengan berpakaian “pribumi”, ia meminta segelas air jeruk kepada pelayan. Akan tetapi, si pelayan mengatakan bahwa dia terlalu sibuk dan melanjutkan melayani orang-orang Eropa. Ketika Keok mengunjungi gedung bioskop itu untuk kedua kalinya, kini dengan berpakaian Eropa, ia langsung dilayani. Ketika ia bertanya mengapa dulu ia tidak dilayani, si pelayan menjawab, hampir memberi kesan bahwa dengan mengganti pakaian maka seseorang juga berganti ras, bahwa dia menyangka Keok orang Jawa. Dengan memakai pakaian Barat, Keok telah memasuki alam Eropa, ia menjadi tidak dapat dibedakan apakah ia orang Eropa asli atau Indo-Eropa, yang menurut hukum –namun tidak selalu secara sosial– memiliki status yang sama.
Namun demikian, di dalam komunitas Islam yang sangat taat, kaum Muslim menjadi cemas tentang pemakaian celana, dasi dan gaya-gaya rambut baru. Keraguan juga muncul mengenai celana pendek yang dipakai oleh pramuka, yang memperlihatkan lutut, karena hukum Islam mengharuskan tubuh seseorang pria tertutup dari pusar hingga lutut. Dalam surat kabar Islam Bergerak yang dikaitkan dengan gerakan Islam berhaluan komunis, Haji Misbach seorang anggota Sarekat Islam Solo dan pemimpin redaksi Islam Bergerak berpakaian gaya Barat serba putih yang mengingatkan masyarakat pada pria Belanda. Pakaian modern tentu saja tidak ditolak, bahkan disokong. Tekanan diletakkan pada kenyataan bahwa Islam tidak melarang pemakaian jas ataupun dasi, tidak pula melarang pengguntingan rambut menurut gaya Barat.
Nasionalisme hanya setengahnya saja diterjemahkan ke dalam pakaian. Simbol nasionalisme tidak tertanam pada tipe pakaian khusus, tetapi pada tutup kepala yang disebut peci. Sukarno menyebut peci sebagai “ciri khas saya…simbol nasionalisme kami”. Menurutnya, pertentangan antara elit berorientasi Barat yang baru, muda, serta agak egois, dan ideal-ideal tentang suatu barisan nasionalis yang menaruh perhatian utama pada keadaan rakyat, memainkan peran utama dalam mengangkat peci sebagai simbol nasionalisme. Sukarno menceritakan bahwa ia sendirilah yang menganugerahi peci dengan arti khusus. Ide tersebut diluncurkan pada suatu pertemuan Jong Java di Surabaya sebelum ia berangkat ke Bandung pada Juni 1921. Ketika itu ia masih sedih karena “diskusi panas antara pihak yang disebut cendikiawa, yang membenci kain penutup kepala yang dipakai oleh para pria Jawa sebagai pasangan sarung mereka, serta pitji yang dipakai para pengemudi betjak dan rakyat biasa lainnya. Ia memutuskan bahwa memakai peci merupakan cara untuk menunjukkan solidaritasnya kepada rakyat biasa setelah melihat “rekan-rekan senegaranya yang congkak berbaris melintas di jalan dengan kepala rapi tanpa mengenakan tutup kepala. Dalam pertemuan Jong Java Sukarno berkata tentang peci hitam:
“Kita memerlukan sebuah simbol bagi kepribadian Indonesia. Topi jenis ini, sama dengan yang dipakai oleh para pekerja biasa bangsa Melayu, asli untuk rakyat kita… Marilah kita menegakkan kepala tinggi-tinggi mengemban topi sebagai simbol Indonesia Merdeka”.
Benarlah kiranya bahwa pakaian mampu mengubah sebuah status seseorang yang memakainya walaupun secara mendalam tidak demikian. Pakaian juga dapat dipakai sebagai identitas nasionalisme dengan meniru apa yang dipakai oleh rakyat kecil tetapi pada umumnya pakaian gaya Eropa pada awal abad ke-20 diyakini oleh masyarakat elit Surakarta merupakan sebuah pintu gerbang modernitas.
2.3.5   Budaya Dari Segi Gaya Hidup
Perubahan penggunaan pakaian dari tradisional kepada penggunaan pakaian gaya Eropa bagi kalangan masyarakat Surakarta pada awal abad ke-20 secara tidak langsung mengubah gaya hidup. Berpakaian gaya Eropa menunjukkan sebuah kemajuan, modernitas bagi seseorang yang memakainya. Ia memiliki status sosial yang tinggi karena dapat mengikuti gaya hidup bangsa Eropa. Terlebih kota Surakarta telah menjadi kota kosmopolitan pada pada awal abad ke-20 dengan tumbuhnya pembangunan pusat-pusat hiburan maupun pusat gaya hidup baru kaum modern.
Pengaruh gaya hidup Eropa yang ditiru oleh kaum pribumi tidak terlepas dari masyarakat kulit putih Eropa yang bermukim di kota Surakarta dengan membawa bentuk-bentuk kesenian kota, hiburan serta berbagai macam bentuk rekreasi yang bersifat modern. Bentuk-bentuk kesenian, hiburan atau rekreasi baru yang dibawa itu berhasil menjadi kecenderungan baru yang juga digemari dan disukai oleh masyarakat pribumi, terutama golongan menengah ke atas. Siklus kehidupan sehari-hari yang telah berubah karena disiplin waktu yang dituntut dalam pekerjaan-pekerjaan modern di kota-kota besar, ikut memicu terbentuknya minat yang baru terhadap bentuk-bentuk seni hiburan ataupun rekreasi yang sesuai kelonggaran waktu masyarakat perkotaan. Maka bentuk-bentuk kesenian atau hiburan agraris tradisional yang banyak menyita waktu dalam menikmatinya seperti wayang kulit, ketoprak, tari-tari klasik tradisional mulai mendapat pesaing baru yaitu kesenian atau hiburan modern kota yang bersifat popular, komersial dan dipertunjukkan dengan waktu singkat seperti film bioskop, musik modern, opera, sirkus, dan sebagainya.
Ikatan-ikatan baru yang bersifat asosional di kalangan masyarakat elit kota-kota besar, melahirkan suatu bentuk organisasi social yang bersifat rekreatif dan informal yang menjadi mode jaman itu yaitu Societeit atau Soos. Societeit merupakan pusat pertemuan yang bersifat informal bagi kalangan elit Eropa atau elit pribumi yang banyak dimanfaatkan sebagai forum menjalin lobby, forum komunikasi, tempat rekreasi (pesta dansa atau minum-minuman keras) serta menikmati kesenian atau hiburan modern yang bersifat elistis dan eksklusif. Dalam societeit ini sering diselenggarakan pagelaran konser-konser musik klasik Barat, baik yang dimainkan oleh kelompok-kelompok simponi Eropa maupun korps musik keraton Surakarta.
Di Societeit Harmonie yang merupakan klub terbesar di Surakarta pada tanggal 4 Januari 1908 diselenggarakan konser dari Korps Musik Kepatihan dengan repertoire-repertoir komposisi musik klasik Barat. Pengunjung diberi kesempatan untuk berdansa dengan irama musik Waltz. Kaum elit Eropa yang tinggal di Jawa khususnya kota Surakarta beserta keluarganya biasanya terdiri dari golongan terpelajar dan para profesional seperti dokter, insinyur, sarjana hukum, ilmuwan, administrator, ekonom dan lain sebagainya. Tingkat pendidikan dan penghasilan yang tinggi memungkinkan mereka mempunyai daya apresiasi yang tinggi pula terhadap ekspresi kesenian ataupun hiburan yang dikonsumsinya. Kalangan elit Eropa yang banyak mempengaruhi selera elit pribumi. Kemampuan ekonomi golongan elit Eropa telah memungkinkan mereka untuk memindahkan suasana lingkungan budaya borjuasi Eropa tempat asal mereka, ke dalam lingkungan baru di tanah jajahan Jawa. Maka pada masa itu dibangunlah infrastruktur yang mendukung kebutuhan hiburan seperti gedung teater, gedung opera, gedung bioskop, dan klub-klub ekslusif seperti societeit dan gedung billiard (kamar bola) dan juga hotel oleh pemerintah Hindia Belanda.
Sebuah novel karya Mas Marco Kartodikromo yang berjudul Student Hidjo dengan jelas menggambarkan bagaimana pengaruh gaya hidup Barat dilakukan oleh kaum pribumi. Hidjo tokoh dalam novel tersebut mengajak kekasihnya, Raden Ajeng Biroe, untuk pergi plesir (bersenang-senang) ke Taman Sriwedari. Hidjo memakai pakaian jas bukak, celana, dasi, dan sepatu baru sedangkan Raden Ajeng Biroe mengenakan baju sutra kuning, kain yang bagus, subang berlian, selop model baru dan tentunya berbicara dengan bahasa campuran antara bahasa Belanda dan Melayu sebagai bentuk dari jaman modern.
Novel ini juga menggambarkan bagaimana suasana di Taman Sriwedari yang gemerlap dengan lampu-lampu listrik. Orang-orang yang akan memasuki pusat hiburan tersebut harus membayar karcis terlebih dahulu. Orang-orang yang berada di Taman Sriwedari sudah berkumpul sesuai selera masing-masing. Ada yang melihat wayang orang, ada yang melihat bioscoop dan ada yang duduk-duduk di restoran sambil omong-omongan satu dengan yang lain. Raden Ajeng Biroe mengajak Hidjo untuk menonton salah satu pertunjukan, ia berkata:
“Djo, mari melihat bioscoop atau wayang orang!” kata raden Ajeng sambil tangannya memegang tangan Hidjo.
“Nee, Lieve.” Kata Hidjo dengan suara yang tidak begitu keras… kita mencari restoran dan mengobrol di situ!”
Dialog-dialog tersebut menunjukkan bagaimana pakaian Eropa yang dipakai berkaitan erat dengan gaya hidup, rekreasi, penggunaan bahasa Belanda, dan yang lebih memperjelas adalah ketika bagian akhir dari novel ini menunjukkan bahwa akhirnya Hidjo, Raden Ajeng Biroe, dan pasangan masing-masing merayakan berkumpulnya mereka di sebuah taman di Solo, kota Kerajaan kuno di Jawa. Mereka berkeliling dengan mobil, mengklakson, minum lemonade dan menonton kongres bersejarah Sarekat Islam.
Gaya hidup modern Barat juga banyak dilakukan oleh priyayi-priyayi Surakarta yang memiliki gedung societeit sendiri yaitu Gedung Abipraya. Gedung Abipraya merupakan pusat budaya priyayi, selain tempat pertemuan, gedung ini juga dipakai sebagai tempat pelelangan. Keluarga orang yang meninggal atau mereka yang akan berpindah tempat yang kebanyakan orang Belanda bias menjual harta mereka kepada umum melalui gedung Abipraya, dalam sebuah pelelangan umum yang dipimpin oleh seorang vendumeester Belanda. Gedung ini juga tempat di mana musik Barat dan gamelan Jawa dimainkan. Pada saat pergelaran para priyayi diharuskan berpakaian resmi, yaitu baju sikepan, bebed, dan kuluk. Dalam peristiwa-peristiwa penghormatan terhadap raja yang diselenggarakan di gedung Abipraya selalu diikuti dengan pesta-pesta dengan tarian tayuban, minuman alkohol, musik orkestra, dan sebagai kelompok yang paling beruntung dalam masyarakat Surakarta, priyayi tentunya mampu mengkonsumsi berbagai hal yang disediakan oleh budaya kota yang berkembang itu, misalnya makanan mewah, bioskop, komidi stambul, sirkus, cerutu, dan lain-lain.
Gaya hidup lain yang menjadi keasyikan para priyayi terutama raja adalah olahraga berburu. Dengan adanya kebebasan pemilikan senjata api modern (tidak perlu ijin khusus) sehingga senjata api dijual di pasaran umum, maka kegiatan berburu di kalangan elit Eropa dan tentunya para priyayi semakin marak. Begitu bergengsinya olahraga berburu dengan senapan modern ini, sehingga Susuhunan Paku Buwana X seringkali melakukan berburu dengan membawa iringan yang besar dan megah, dan dengan mengenakan kostum model tentara kavaleri Belanda lengkap dengan topi panamanya.
Hal lain adalah dengan adanya pembagian waktu dan kondisi dalam berpakaian maka gaya hidup masyarakat Surakarta diperkenalkan dengan acara jamuan makan malam yang mewah lengkap dengan penggunaan peralatan makan sendok, garpu, dan pisau. Jamuan makan malam ini biasanya dilakukan oleh istana kerajaan Kasunanan maupun Mangkunegaran dalam menyambut pajabat-pejabat penting pemerintah Hindia Belanda maupun sebaliknya ketika para pejabat pemerintah Hindia Belanda menyambut kunjungan para raja Surakarta. Seperti halnya jamuan makan malam yang dilakukan oleh istana Mangkunegaran untuk menghormati kedatangan Gubernur Jendral M.B. van der Jagt tahun 1930.
Gaya hidup priyayi yang penuh dengan hedonisme menimbulkan dampak buruk dengan timbulnya kejahatan-kejahatan yang dilakukan priyayi, misalnya mengadu jago, berjudi, walau pemerintah Surakarta telah melarang semua itu bagi priyayi. Kritikan mengenai tingkah laku yang buruk dari priyayi datang dari berbagai pihak. Mas Marco Kartodikromo melalui surat kabar Doenia Bergerak mengkritik tingkah laku ini.
“He’ toean-toean: boekankah telah oemoem segala bangsa apa sadja, baek jang kaja, baik jang miskin, hal berjoedi itoe dianggap kesenangan jang loemrah…
Tapi kan sering dengar, baek membatja di soerat kabar, baik dari kabar orang, banjak joega bangsa kapitalisten jang jatoeh miskin lantaran diserang penjakit berjordi itoe.”
Dalam majalah Pemimpin sebuah majalah milik Perserikatan Prijaji Binnenlandsche Bestuur juga mengharapkan agar tingkah laku para priyayi menjaga perilaku yang baik agar rakyat tetap mendukung mereka. Alam kebudayaan modern yang penuh dengan persaingan dalam berbagai hal diharapkan tidak membuat para priyayi bestuursambtenaar bumiputra tidak mabuk jabatan dan kekuasaan dan harus tetap memperhatikan rakyat.
Pengaruh-pengaruh Eropa dalam gaya hidup telah membawa masyarakat kota Surakarta mengalihkan perhatian tentang rekreasi yang tadinya bersifat mistik dengan pagelaran wayang, tarian sakral, pada awal abad ke-20 beralih kepada rekreasi yang bersifat modern, populer yang menumbuhkan simbol dan status baru sebagai manusia modern. Manusia modern dalam pikiran masyarakat Surakarta awal abad ke-20 adalah sesorang dengan pakaian gaya Eropa, terlibat dalam klub-klub rekreasi, bergaya hidup Eropa dan tentunya hal ini adalah sebuah hal yang dituju oleh masyarakat pada saat itu. Begitu besarnya pengaruh perkembangan pakaian di kota Surakarta sehingga mampu mempengaruhi gaya hidup masyarakat Surakarta pada awal abad ke-20.




DAFTAR PUSTAKA
Kartodirjo, Sartono, 1990, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional Dari Kolonialisme sampai Nasionalisme Jilid 2, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Hajati, Dra. Chusnul, dkk, 1997, Sejarah Indonesia, Jakarta: Universitas Terbuka
Poesponegoro, Marwati Djoened. Notosusanto, Nugroho, 2008, Sejarah Nasional Indonesia V, Jakarta: Balai Pustaka
http://rumuspelajar.blogspot.com/2010/03/zaman-pergerakan-nasional.html
http://phesolo.wordpress.com/2012/05/12/pakaian-politik-dan-gaya-hidup-masyarakat-surakarta-masa-kolonial/