2.1
Filsafat Sejarah Spekulatif
Filsafat sejarah spekulatif (the
speculative philosophy of history), yaitu kajian seputar dua makna kata
sejarah, yaitu pertama sebagai proses historis; dan kedua sebagai penulisan
proses historis menurut kaidah-kaidah ilmu sejarah. Demikian pula, tampak jelas
Toynbee dalam pembuktian historis dan penerimaannya yang sungguh-sungguh atas
pengkajian berbagai kebudayaan selalu berusaha memakai metode eksperimental
yang didasarkan pada pengamatan guna mengetahui faktor-aktor yang menyebabkan
tumbuh dan runtuhnya kebudayaan.
Metode ini merefleksikan aliran
eksperimental yang terkenal dalam filsafat Inggris modern pada umumnya. Di
antara hasil kajian ini adalah sejumlah karya dalam sejarah kebudayaan,
misalnya A study of History karya Tyonbee, yang terdiri atas dua belas jilid.
Tyonbee hampir sependapat dengan
Spenglermengenai konsepsi kesatuan kajian historis dari segi bahwa ia merupakan
suatu masyarakat yang terdiri atas bebagai kelompok yang memiliki karakteristik
kultural khusus, tanpa memandang bentuk nasional tempat mereka berafiliasi atau
sistem internasional yang mereka ikuti, yaitu suatu sistem yang pada hakikatnya
didasarkan pada kondisi-kondisi dominasi Barat atas berbagai tipe sistem
politik yang berkembang pada zaman modern. Ini berarti bahwa kesatuan historis,
menurutnya, sebagaimana menurut Spengler, bukanlah umat manusia seluruhnya atau
kawasan-kawasan politik ataupun kesatuan-kesatuan nasional. Ia merupakan
sejumlah kelompok manusia yang disebut dengan masyarakat kultural atau kesatuan
kajian historis sesuai dengan karakteristik bersamanya.
Tyonbee berpendapat bahwa pola-pola
kebudayaan yang dikajinya-jumlahnya ada delapan- tidak cukup bisa mengantarkan
seseorang pada kesimpulan-kesimpulan ilmiah yang benar. Oleh karena itu, Tyonbee
berupaya mengkaji lima masyarakat yang ada masa kini, yaitu masyarakat Kristen
Barat, masyarakat Kristen Timur (Byzantium), masyarakat India, masyarakat Timur
Jauh, dan masyarakat Islam. Di samping itu, ia juga mengkaji sempalan-sempalan
masyarakat yang sudah mati yang tidak jelas kepribadiannya, misalnya saja kaum
Yahudi.
Menurut Tyonbee, semua masyarakat tumbuh
dari masyarakat sebelumnya, yang menurutnya terdiri atas dua puluh satu
masyarakat. Dengan adanya pembagian demikian, gugurlah kesatuan kebudayaan yang
diserukan para sejarawan Barat sebelum Tyonbee, yang terpengaruh oleh
lingkungan sosial mereka dan keberhasilan kebudayaan Barat secara internasional
di bidang politik dan ekonomi, sehingga membuat banyak sejarawan terbuai oleh
keserupaan yang menyesatkan di antara berbagai kebudayaan yang sebenarnya tidak
sesuai dengan corak kultural asli dari segi substansi umum kebudayaan tersebut.
Keberhasilan lahiriah itu, terutama karena
tersebar luasnya sistem-sistempolitik dan ekonomi Barat dalam banyak masyarakt,
menimbulkan suatu ide yang keliru, yaitu ide kesatuan kebudayaan manusia.
Menurut ide ini, sejarah manusia mempunyai satu sumber yaitu Barat, sedangkan
yang lainnya adalah cabangnya. Menurut Tyonbee, ide yang mendominasi pemikiran
banyak sejarawan Barat itu ditegakkan di atas tiga ilusi,yaitu cinta diriyang
mendominasi orang-orang Barat, ide Timur yang mandek, dan pendapat tentang
kemajuan sebagai gerak yang membentuk suatu garis yang selalu lurus. Dari sini,
Tyonbee menarik kesimpulan tentang perlu dilakukannya penilaian objektif atas
semua kebudayaan tanpa penggunggulan khusus terhadap kebudayaan Barat, karena
kebudayaan Barat bukanlah merupakan poros kebudayaan-kebudayaan seperti menurut
banyak sejarawan Barat.
2.2
Riwayat Hidup Arnold J. Toynbee
Arnold J. Toynbee lahir pada 14 April 1889
di London. Arnold Joseph Toynbee adalah anak dari Henry Valpy Toynbee, seorang
pengimpor teh yang beralih menjadi pekerja sosial, dan Sarah Edith Marshall,
sarjana unofficial di bidang sejarah dari Universitas Cambridge. Semasa kecil,
Toynbee dididik oleh ibunya dan seorang guru privat perempuan. Kemudian dia
meneruskan ke Wotton Court di Kent dan Winchester College. Dia cemerlang dalam
studinya, dan mendapatkan beasiswa untuk disiplin sastra Yunani dan Romawi Kuno
ke Balliol College, Oxford. Ketika menggeluti sastra Yunani dan Romawi kuno.
Toynbee merupakan penulis besar, menghasilkan karya yang tidak terhitung jumlahnya tentang agama, sejarah kuno dan modern, peristiwa kontemporer, dan hakekat sejarah.
Toynbee merupakan penulis besar, menghasilkan karya yang tidak terhitung jumlahnya tentang agama, sejarah kuno dan modern, peristiwa kontemporer, dan hakekat sejarah.
Setelah menamatkan studinya pada tahun
1912, Toynbee menjelajahi situs-situs sejarah di Yunani dan Itali. Ia mempunyai
harapan mampu membantu murid-muridnya 'mengenal keragaman kehidupan dan
peradaban', tak seorang pun dari mereka mampu memenuhi harapan sang guru. Dia
kemudian mengalihkan energinya untuk melakukan sesuatu yang kemudian menjadi
pekerjaan seumur hidupnya yaitu menulis. Toynbee mulai menulis sebuah buku
tentang sejarah Yunani dari masa prasejarah sampai masa Bizantium, namun
sebelum buku tersebut selesai dia terganggu oleh peristiwa yang terjadi di
masanya, seperti Perang Balkan pada 1912 dan 1913. Ia juga pernah ditugasi oleh
British (kini Royal) Institute for International Affairs untuk menulis sebuah
buku hasil riset lama dan mendalam tentang paeristiwa-peristiwa penting yang
terjadi sejak Perjanjian Versailles. Buku tersebut, Surveys of International
Affairs 1920-1923 (1925), menjadi buku hasil survey mendalam pertama yang dia
hasilkan sampai dia pensiun pada tahun 1953.
Tiap tahun, Toynbee berusaha mengabadikan banyak informasi (kebanyakan dari surat kabar) lewat catatan-catatan tentang peristiwa kontemporer di seluruh dunia.
Tiap tahun, Toynbee berusaha mengabadikan banyak informasi (kebanyakan dari surat kabar) lewat catatan-catatan tentang peristiwa kontemporer di seluruh dunia.
Toynbee juga mulai mengumpulkan
bahan-bahan buat karyanya yang kemudian terkenal: A Study of History (12
Jilid, 1934-1961). Keilmuan sejarah kontemporer, menurut Toynbee, kurang
sempurna sebab para sejarawan Eropasentris, meniru saintis, dan melakukan riset
tentang topik-topik kecil yang sepele. Menurut Toynbee, yang gagal mereka
mengerti adalah bahwa alam semesta menjadi bisa dipahami sejauh kia memahaminya
sebagai sebuah kesatuan. Dalam semangat itu, Toynbee bermaksud mempelajari
seluruh peradaban yang dikenal, yang masih ada maupun yang sudah punah. Dalam
sejumlah besar detail sejarah, menurutnya, sebuah pola bisa diungkap dan
diketahui.
2.3
Tafsiran Arnold J. Tyonbee
Arnold J. Tyonbee mengarang buku A Study of History tahun 1933. Teori
Tyonbee didasarkan atas penelitian terhadap 21 kebudayaan yang sempurna dan 9
kebudayaan yang kurang sempurna. Kebudayaan yang sempurna, antara lain: Yunani,
Romawi, Maya, Hindu, Barat/Eropa, dan yang kurang sempurna, antara lain: Eskimo,
Sparta, Polinesia, Turki. Menurut Tyonbee bahwa gerak sejarah tidak memiliki
hukum tertentu yang menguasai dan mengatur timbul tenggelamnya kebudayaan-kebudayaan
dengan pasti.
Kebudayaan (civilization) menurut Tyonbee
adalah wujud kehidupan golongan seluruhnya. Menurutnya, gerak sejarah berjalan
menurut tingkatan-tingkatan berikut:
1. Genesis
of civilizations, yaitu lahirnya kebudayaan;
2. Growth
of civilizations, yaitu perkembangan kebudayaan;
3. Decline
of civilizations, yaitu keruntuhan kebudayaan;
4. Breakdown
of civilizations, yaitu kemerosotan kebudayaan;
5. Disintegration
of civilizations, yaitu kehancuran kebudayaan;
6. Dissolution
of civilizations, yaitu hilang dan lenyapnya kebudayaan.
Suatu kebudayaan terjadi karena
challenge and response (tantangan dan jawaban antara manusia dan alam
sekitarnya). Dalam alam yang baik, manusia berusaha untuk mendirikan suatu
kebudayaan, seperti di Eropa, India, Tiongkok. Di daerah yang terlalu dingin, seolah-olah
manusia membeku (Eskimo), di daerah yang terlalu panas, tidak dapat timbul
suatu kebudayaan ( Sahara, Kalahari, Gobi). Apabila tantangan alam itu baik,
timbullah suatu kebudayaan.
Pertumbuhan dan perkembangan suatu
kebudayaan digerakkan oleh sebagian kecil dari pemilik kebudayaan. Jumlah kecil
itu menciptakan kebudayaan dan jumlah yang banyak (mayoritas) meniru kebudayaan
tersebut. Tanpa minoritas yang kuat dan dapat mencipta, suatu kebudayaan tidak
dapat berkembang.
Apabila minoritas lemah dan kehilangan
daya mencipta, tantangan dari alam tidak dapat dijawab lagi. Apabila minoritas
menyerah, mundur, pertumbuhan kebudayaan (decline) mulai tampak. Keruntuhan itu
terjadi dalam tiga masa, yaitu sebagai berikut:
1. Kemerosotan
kebudayaan
Terjadi karena minoritas kehilangan daya
mencipta serta kehilangan kewibawaannya, mayoritas tidak lagi bersedia
mengikuti minoritas. Peraturan dalam kebudayaan (antara minoritas dan
mayoritas) pecah dan tunas-tunas hidupnya suatu kebudayaan akan lenyap.
2. Kehancuran
kebudayaan
Mulai tampak setelah tunas-tunas kehidupan
itu mati dan pertumbuhan terhenti. Setelah pertumbuhan terhenti, seolah-olah
daya hidup itu membeku dan terdapatlah suatu kebudayaan itu tanpa jiwa lagi.
Tyonbee menyebut masa ini sebagai petrification, pembatuan atau kebudayaan itu
sudah menjadi batu, mati, dan menjadi fosil.
3. Lenyapnya
kebudayaan
Yaitu, apabila tubuh kebudayaan yang sudah
membatu itu hancur lebur dan lenyap.
Untuk menghindarkan keruntuhan suatu kebudayaan, hal yang mungkin dilakukan
adalah mengganti norma-norma kebutuhan. Dengan pergantian itu, tujuan gerak
sejarah adalah kehidupan ketuhanan atau kerajaan Allah menurut paham Protestan.
Dengan demikian, garis besar teori Toynbee mirip dengan santo agustinus, yaitu
akhir gerak sejarah adalah civitas dei atau kerajaan Tuhan
DAFTAR
PUSTAKA
Hasbullah,
Moeflih, M.A, Supriadi Dedi, M.Ag. 2012. Filsafat
Sejarah. Bandung: Pustaka Setia
http://jejak
sejarah FILSAFAT SEJARAH ARNOLD J.
TOYNBEE ( 1889-1975 ).html
http://WAEL
HISTORIAN PEMBAHASAN TEORI SPEKULATIF
DAN KRITIS Oleh Raman.html
http://laramansumiyati.blogspot.com/2010/06/pembahasan-teori-spekulatif-dan-kritis.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar